Dulu dosen saya pernah mengatakan bahwa kuliah hukum di Amerika sana terdapat mata kuliah Berdebat. Sedangkan di Indonesia belum ada kurikulum tentang mata kuliah Berdebat. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat memakai sistem hukum Anglo Saxon, sedangkan Indonesia masih setia menggunakan Eropa Kontinental. Perbedaan dari keduanya antara lain pada hukum acaranya. Hukum acara pada Anglo Saxon memungkinkan interaksi yang lebih intens antara pihak Tergugat/Terdakwa dengan pihak Penggugat/Penuntut Umum dan para saksinya, sehingga kemungkinan terjadinya perdebatan di ruang persidangan lebih besar.
Meskipun begitu, orang-orang Indonesia pada umumnya suka memperdebatkan sesuatu. Bahkan acara televisi diramaikan oleh ajang-ajang debat antar tokoh. Mahkamah Konstitusi saja membuat Lomba Debat Konstitusi Antar Perguruan Tinggi Se-Indonesia.
Saya sendiri pada dasarnya suka berdiskusi tentang apapun dengan siapapun (bilang saja cerewet). Kadang diskusi yang memanas juga akan menimbulkan debat. Dari beberapa pengalaman debat yang bisa dibilang masih dangkal, ijinkan saya membagi sedikit ilmu atau semacam jurus berdebat yang saya kumpulkan sendiri dari pengalaman maupun pengamatan pribadi.
1.Dalami Materi. Perluas dan Perbanyak Data
Ketika berdebat hendaknya kita memakai dasar argumen yang kuat, jelas, dapat dipertanggungjawabkan, dan tentunya “mematikan”. Hal ini bisa dicapai bila kita benar-benar menguasai materi. Maka penguasaan materi tak ayal merupakan pondasi kita dalam berdebat. Setelah pondasi kuat, maka harus ada kerangka bangunan yang kokoh. Hal ini bisa kita capai dengan jalan memperbanyak dan memperluas data yang kita miliki. Ingat! Memperbanyak dan memperluas.
Bisa diibaratkan materi dan data adalah kuda-kuda sebelum memulai pertandingan. Mereka harus kuat dan kita kuasai betul.
2.Fokus Pada Substansi Debat
Ini yang sering menjadi kesalahan kita ketika berdebat, tetapi sering tidak disadari. Pada awal debat mungkin apa yang kita sampaikan masih substantif, tetapi sering di pertengahan debat kemudian bahasannya menjadi melebar kemana-mana. Misalnya tadinya memperdebatkan tentang penyadapan Australia, tetapi lalu melebar sampai ke Pemilu 2014. Nah, ini sudah tidak substantif namanya. Meskipun terlihat berhubungan, tetapi hubungannya hanya terlihat dari luar saja, substansi atau isinya tidak berhubungan.
3.Kuasai Emosi
Bukan hanya emosi diri sendiri saja yang harus dikuasai, tetapi kuasai juga emosi lawan. Debat berbeda dengan bertengkar. Dalam pertengkaran kita boleh mengedepankan emosi kita. Sebab justru pertengkaran itu muncul karena adanya luapan emosi dari kita. Berbeda dengan debat yang harus mengedepankan argumentasi yang cerdas.
Maka dalam berdebat kita harus bisa menguasai diri agar tidak terbawa amarah. Selain itu kita harus pandai-pandai mengamati bagaimana kondisi emosional lawan debat. Jika sudah bisa menguasai kondisi emosional lawan, maka kita bisa menempatkan serangan argumen kita pada saat yang tepat. Ketepatan inilah yang membuat serangan kita menjadi telak dan mematikan, sehingga dengan emosi tinggi lawan akan cenderung mengedepankan emosinya dalam melakukan serangan balik. Ini keuntungan bagi kita.
4.Hindari Menyerang Pribadi Lawan
Sering kita melihat peserta debat yang ketika sudah kehabisan argumen lalu menyerang pribadi lawannya sebagai serangan penghabisan. Mungkin berhasil, tetapi keberhasilan yang tidak sportif, tidak membanggakan bahkan terkesan tidak gentle. Ibarat bertanding sepakbola, sudah frustasi karena tertinggal gol lalu melakukan tackling-tackling dan pelanggaran keras yang tidak perlu. Sekali lagi : tidak sportif, tidak gentle, tidak membanggakan, dan tampak sekali kalau takut kalah.
5.Serang Inkonsistensi Lawan
Ini strategi ofensif yang sering saya gunakan dan menjadi favorit saya ketika berdebat. Kita harus jeli menyimak dan mengingat argumen-argumen lawan. Ketika dalam berargumen lawan melakukan ketidakkonsistenan, inilah saatnya kita menyerang. Seperti dalam aikido, memanfaatkan tenaga lawan untuk membalas serangan. Misalnya :
A : Saya hari itu tidur jam 12 malam dan baru bangun jam 5 keesokan harinya. Nah malam itu saya melihat dengan mata kepala saya sendiri Pak Susilo sedang bermesraan dengan Bu Ani di depan rumah.
B : Loh? Katanya tidur? Tapi katanya melihat dengan mata kepala sendiri? Jadi mana pernyataan anda yang benar? Anda tidur atau anda melihat mereka bermesraan?
A : (dlongap-dlongop)
Kita tidak memerlukan banyak data pendukung untuk melakukan serangan ini. Cukup perhatikan, amati, dan ingat-ingat apa argumen lawan. Dan ketika kita menemukan inkonsistensi, segera lakukan serangan balik. Menggunakan tenaga lawan untuk melumpuhkan lawan. Hemat energi. Go Green pokoknya.
6.Membalikkan Logika Argumen Lawan
Ini juga strategi ofensif yang paling saya sukai, apalagi digunakan pada saat yang tepat, akan sangat mematikan.
Dalam menyampaikan argumen agar bisa diterima dengan baik maka harus logis, bisa masuk ke dalam logika berpikir manusia pada umumnya. Tetapi jika kita jeli dalam bermain logika, argumen selogis apapun bisa kita balikkan sehingga menjadi tidak logis. Atau paling tidak bisa memunculkan logika baru yang sama masuk akalnya. Contohnya :
A : Untuk mendukung seseorang melakukan ibadah saja kok negara pelit amat. Masak cuma menganggarkan selembar sarung untuk seorang PNS Muslim saja tidak mau? (Oke, sampai disini logikanya negara itu pelit, bahkan cuma membelikan sarung untuk sarana ibadah PNSnya saja tidak mau. Dari argumen ini memang logikanya negara yang pelit, maka serangan baliknya adalah….)
B : Nah, jadi PNS mau ibadah saja kok pelit amat. Mau pakai sarung buat ibadah saja kok minta anggaran negara? Emang gajinya nggak cukup buat beli sarung? Tukang becak yang penghasilannya pas-pasan saja bisa beli sarung sendiri, nggak minta negara. (sekarang muncul logika baru kan? Yaitu yang pelit bukan negaranya tapi PNSnya.)
See? As simple as that. Itu tadi kalau kita jeli. Syarat utama agar bisa mengeluarkan jurus ini kita harus jeli dan menguasai alur logika berpikir manusia secara umum.
7.Serahkan Hasil Debat pada Penonton/Pendengar sebagai Juri
Ini yang sering tidak kita sadari. Saat berdebat kita terlalu memaksakan diri untuk mendapat pengakuan dari lawan bahwa kita menang dan dia kalah. Sikap ini kalau dipelihara terlalu lama akhirnya akan menimbulkan kebencian yang mengakar. Sampai kapanpun, dalam kondisi apapun kita akan selalu benci dan mendebat lawan kita. Bahkan ketika sebenarnya sependapat dengannya kita lalu sok oposisi, asalkan beda dengan dia. Sing penting jothakan. Lalu dimana letak idealisme itu?
Dalam berdebat sebaiknya kita sebatas menyampaikan argumen untuk memperkuat pendapat kita dan memperlemah argumen lawan. Hasilnya menang siapa ya kita serahkan saja pada penilaian para penikmat debat.
8.Nglurug Tanpa Bala Menang Tanpa Ngasorake
Ketika berdebat sebaiknya jangan terlalu mengandalkan dukungan, jumlah massa, atau bala tentara untuk memperkuat pendapat kita. Lebih baik kita memperkuat argumen yang kita miliki. Ini debat, bukan voting. Yang banyak belum tentu benar dan menang, yang sedikit belum tentu salah dan kalah. Pemenang adalah pihak yang mampu menyuguhkan argumen-argumen yang logis dan faktual sehingga memperkuat pendapatnya.
Dan tidak ada pemenang yang lebih sejati daripada pemenang yang tidak merendahkan kekalahan lawannya. Bagai ilmu padi, makin berisi maka akan semakin merunduk. Semakin ia menang maka seharusnya ia makin rendah hati, bukan makin sombong. Apalagi kalau sudah kalah sombong pula. Alamaaak…
9.Kalah Jadi Abu, Menang Jadi Arang
Bagaimanapun juga berdebat itu pada intinya adalah pertarungan, pertandingan, perlombaan antara satu pihak dengan pihak yang lain. Dan seperti kata pepatah, dalam pertarungan apapun baik pemenang maupun pecundang keduanya sama-sama rugi. Yang satu jadi abu, tetapi yang satunya juga jadi arang. Tidak ada yang jadi pohon.
Jadi, seperti kata Jackie Chan dalam film “The Karate Kid”: Menghindari perkelahian adalah cara bertahan yang paling baik.
Sumber:
kompasiana.com