• Health

    Informasi Seputar Kesehatan

  • Parenting

    Informasi Seputar Keluarga

  • Relationship

    Informasi Seputar Hubungan Pacaran

  • Wedding

    Informasi Seputar Pernikahan dan Rumah Tangga

  • Sex

    Informasi Seputar Seks

  • Life

    Informasi Seputar Kehidupan

  • General

    Informasi Hal-hal Umum

  • Entrepreneur

    Informasi Seputar Wirausaha

Monday, February 15, 2021

Cara Menghitung Uang Pertanggungan Asuransi Jiwa

Ketika sedang memeriksa neraca keuangan keluarga, Anda mungkin mengklasifikasikan aset berupa rumah, kendaraan, dana pensiun, atau investasi keuangan. Hanya saja, terdapat unsur lain yang bisa memberi manfaat yang tidak bisa diberikan oleh aset lain. Aset ini adalah asuransi jiwa.

Ya, asuransi jiwa merupakan bentuk perlindungan finansial yang diberikan oleh perusahaan asuransi jiwa atas seseorang (pemegang polis) terhadap risiko meninggal dunia.

Sehingga, pihak yang ditinggalkan (tertanggung) tetap dapat menerima sejumlah uang tertentu, dimana uang tersebut bisa digunakan sebagai biaya hidup oleh pewaris.

Asuransi jiwa perlu dimiliki oleh setiap orang. Selain memberikan perlindungan terhadap kerugian finansial yang disebabkan oleh risiko ketidakpastian dalam hidup, asuransi jiwa juga bisa mendukung rencana hari tua yang bahagia dan sejahtera.

Cara Menghitung Uang Pertanggungan Asuransi Jiwa
Sebelum membahas bagaimana cara menghitung uang pertanggungan, ada baiknya sebagai calon pemegang polis asuransi jiwa, Anda sudah memiliki poin-poin berikut ini.
Nilai ekonomis yaitu suatu nilai dimana hasil pendapatan setahun Anda rata-ratakan dalam setiap bulannya. Atau bagi seorang pegawai adalah besarnya gaji bersih yang dibawa pulang ke rumah. Untuk kepentingan uang pertanggungan, fokusnya hanya pada nilai ekonomis bukan cukup atau tidaknya gaji tersebut.

Adanya individu selain Anda yang sangat bergantung dengan nilai ekonomis tersebut, misal istri, suami, anak, kakak, adik atau orang tua yang sudah pensiun.

Sangkutan dana pihak lain di dalam aktivitas bisnis, misal pinjaman personal di luar utang bank atau lembaga pembiayaan lain yang tidak memiliki asuransi jiwa.

Lalu, bagaimana cara menghitung uang pertanggungan yang optimal? Berikut kami berikan penjabarannya.

1. Metode Human Life Value
Pada metode ini, uang pertanggungan mutlak dihitung berdasarkan pendapatan bulanan dikali dengan lama dana tersedia untuk menopang hidup, tanpa memperhatikan faktor bunga maupun pertumbuhan dana jika uang pertanggungan disimpan dalam produk perbankan.

2. Metode Income Based Value
Metode ini menghitung uang pertanggungan dengan memperhitungkan besarnya bunga atau return jika uang pertanggungan yang diterima disimpan dalam produk perbankan.

3. Metode Financial Needs Based Value
Besar uang pertanggungan memiliki kisaran minimal sama dengan besarnya uang kebutuhan tertentu saat ini (present value) dikali dengan 150%. Sedangkan uang pertanggungan maksimal adalah sebesar uang di masa mendatang (future value) dikali dengan 80%.

Metode ini mutlak dikombinasikan dengan investasi yang dilakukan (baik secara bulanan atau tahunan) untuk mencapai kebutuhan keuangan di masa mendatang (future value) dari kebutuhan keuangan tersebut. Metode ini juga dapat dipakai bagi mereka yang berpenghasilan bulanan sangat besar.

Sehingga kedua metode lain diatas tidak mungkin digunakan lagi, karena akan memberikan jumlah uang pertanggungan yang terlalu besar (kecil kemungkinan uang pertanggungan disetujui oleh perusahaan asuransi).

Contoh Kasus Uang Pertanggungan Asuransi Jiwa
Untuk lebih jelasnya, kami akan berikan contoh kasus berikut ini.
Seorang ayah 35 tahun memiliki penghasilan bersih Rp 5 juta setiap bulannya, istri ibu rumah tangga mereka memiliki 1 orang anak usia 9 tahun. Jika sang ayah meninggal maka besarnya uang pertanggungan adalah sebagai berikut.

1. Jika menggunakan metode Human Life Value, maka uang pertanggungan asuransi jiwa adalah:
Rp 5.000.000 x 12 x 5 =Rp 300.000.000

Ini berarti, jika diambil sebesar Rp 5 juta setiap bulannya akan bertahan selama 5 tahun (tanpa menghitung bunga atau pertumbuhan dana).

2. Jika menggunakan metode Income Based Value, maka uang pertanggungan asuransi jiwa adalah:
(Rp 5.000.000 x 12) / 6% = Rp 1 miliar

Mengapa dibagi dengan 6 persen? Karena jika uang pertanggungan diterima, maka dana tersebut ditempatkan pada instrumen investasi pendapatan tetap seperti ORI (Obligasi Ritel Indonesia), reksadana pendapatan tetap, bukan pada deposito.

Secara historis memiliki kinerja setahun pada kisaran 6 persen s/d 8 persen. Jadi, uang sebesar Rp 1 miliar akan menghasilkan Rp 5 juta setiap bulannya karena Rp 1 miliar x (6% / 12) = Rp 5 juta.

3. Jika menggunakan metode Financial Needs Based Value, maka pertanggungan asuransi jiwa adalah:
Nah metode ini untuk memproteksi biaya pendidikan kelak jika sang ayah meninggal. Misalkan biaya pendidikan di universitas sekarang adalah Rp 200 juta, maka 9 tahun lagi biaya pendidikan menjadi sekitar Rp 550 juta dengan perkiraan kenaikan 12% setiap tahunnya.

Jadi, uang pertanggungan untuk memproteksi biaya pendidikan adalah sebesar Rp 550 juta.

Atau kalau ingin lebih murah bisa dengan uang pertanggungan Rp 275 juta, namun wajib dengan melakukan kombinasi investasi pada reksadana saham sebanyak Rp 250 ribu setiap bulannya, dengan target return sebesar 18% minimal per tahun.

Selanjutnya, bagaimana cara terbaik untuk memilih produk asuransi jiwa paling sesuai? Dalam hal pemilihan produk, tentu Anda akan memilih produk paling optimal.

Dalam kasus di atas, tentunya Anda harus mengetahui kisaran premi untuk masing-masing uang pertanggungan yang ada. Sehingga Anda dan keluarga mendapatkan manfaat terbaik yakni uang pertanggungan tinggi namun dengan pembayaran premi minimal.

Pembagian Harta Waris Menurut Hukum Islam dan KUH Perdata (BW)

I. Kewarisan Menurut Hukum Islam
Hukum Kewarisan menuuut hukum Islam sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (Al ahwalus Syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Dengan demikian seseorang dapat terhindar dari dosa yakni tidak memakan harta orang yang bukan haknya, karena tidak ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan. Hal ini lebih jauh ditegaskan oleh rasulullah Saw. Yang artinya:

“Belajarlah Al Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan mengabarkannya HR. Ahmad Turmudzi dan An Nasa’I”.

Berdasarkan hadits tersebut di atas, maka ilmu kewarisan menururt Islam adalah sangat penting, apalagi bagi para penegak hukum Islam adalah mutlak adanya, sehingga bisa memenuhi harapan yang tersurat dalam hadits rasulullah di atas.

Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini, yaitu:
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum unutk menjadi ahli waris.
Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

Baitul Maal adalah balai harta keagamaan.
Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut ketentuan pasal 175 KHI adalah:
  • Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.
  • Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.
  • Menyelesaikan wasiat pewaris.
  • Membagi harta warisan diantara ahli waris yang berhak.
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188 KHI).

Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).

Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing isteri berhak mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal 190 KHI).

Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian (Pasal 179 KHI).

Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperempat bagian (Pasal 180 KHI).

Masalah waris malwaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan baik ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:
Perkawinan.
Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Wakaf dan sedekah.

Menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga wanita (anak-anak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak perempuan, saudara perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja). Para ahli waris berjumlah 25 orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan.

Ahli waris dari pihak laki-laki ialah:
a. Anak laki-laki (al ibn).
b. Cucu laki-laki, yaitu anak laki-laki dan seterusnya kebawah (ibnul ibn) .
c. Bapak (al ab).
d. Datuk, yaitu bapak dari bapak (al jad).
e. Saudara laki-laki seibu sebapak (al akh as syqiq).
f. Saudara laki-laki sebapak (al akh liab).
g. Saudara laki-laki seibu (al akh lium).
h. Keponakan laki-laki seibu sebapak (ibnul akh as syaqiq).
i. Keponakan laki-laki sebapak (ibnul akh liab).
j. Paman seibu sebapak.
k. Paman sebapak (al ammu liab).
l. Sepupu laki-laki seibu sebapak (ibnul ammy as syaqiq).
m. Sepupu laki-laki sebapak (ibnul ammy liab).
n. Suami (az zauj).

o. Laki-laki yang memerdekakan, maksudnya adalah orang yang memerdekakan seorang hamba apabila sihamba tidak mempunyai ahli waris.

Sedangkan ahli waris dari pihak perempuan adalah:
a. Anak perempuan (al bint).
b. Cucu perempuan (bintul ibn).
c. Ibu (al um).
d. Nenek, yaitu ibunya ibu ( al jaddatun).
e. Nenek dari pihak bapak (al jaddah minal ab).
f. Saudara perempuan seibu sebapak (al ukhtus syaqiq).
g. Saudara perempuan sebapak (al ukhtu liab).
h. Saudara perempuan seibu (al ukhtu lium).
i. Isteri (az zaujah).
j. Perempuan yang memerdekakan (al mu’tiqah).

Sedangkan bagian masing-masing ahli waris adalah isteri mendapat ¼ bagian apabila sipewaris mati tidak meninggalkan anak atau cucu, dan mendapat bagian 1/8 apabila sipewaris mempunyai anak atau cucu, dan isteri tidak pernah terhijab dari ahli waris. Adapun yang menjadi dasar hukum bagian isteri adalah firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 12, yang artinya:

“Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak, dan jika kamu mempunyai anak, maka isteri-isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat atau setelah dibayar hutang-hutangmu”.

Suami mendapat ½ bagian apabila pewaris tidak mempunyai anak dan mendapat ¼ bagian apabila pewaris mempunyai anak, berdasarkan firman Allah surat an Nisa’ ayat 12, yang artinya:

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua bagian dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika tidak mempunyai anak, dan jika ada anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar hutang-hutangnya”.

Sedangkan bagian anak perempuan adalah:
Seorang anak perempauan mendapat ½ bagian, apabila pewaris mempunyai anak laki – laki.
Dua anak perempauan atau lebih, mendapat 2/3 bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki.
Seorang anak perempuan atau lebih, apabila bersama dengan anak laki-laki, maka pembagiannya dua berbanding satu (anak laki-laki mendapat dua bagian dan anak perempuan mendapat satu bagian), hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surat An Nisa’ Ayat 11 yang artinya:

“Jika anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.

Bagian anak laki-laki adalah:
Apabila hanya seorang anak laki-laki saja, maka dia mengambil semua warisan sebagai ashabah, jika tidak ada ahli waris dzawil furudz, namun jika ada ahli waris dzawil furudz maka ia hanya memperoleh ashabah (sisa) setelah dibagikan kepada ahli waris dzwil furudz tersebut (ashabah bin nafsih).
Apabila anak laki-laki dua orang atau lebih, dan tidak ada anak perempauan, serta ahli waris dzwil furudz yang lain, maka ia membagi rata harta warisan itu, namun jika ada anak perempuan, maka dibagi dua banding satu (ashabah bil ghair), berdasarkan surat Anisa’ ayat 11 dan 12 tersebut.

Ibu dalam menerima pusaka/bagian harta waris adalah sebagai berikut:
Ibu mendapat seperenam, apabila pewaris meninggalkan anak.
Ibu mendapat sepertiga bagian, apabila pewaris tidak mempunyai anak.

Dan diantara ahli waris yang ada, apabila ada ibu maka yang dihijab ibu adalah nenek dari pihak ibu, yaitu ibu dari ibu dan seterusnya keatas. Nenek dari pihak bapak yaitu ibu dari bapak dan seterusnya keatas. Hal ini berdasarkan surat An Nisa’ ayat 11 yang artinya:”Dan untuk dua orang ibu bapak, baginya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika pewaris itu mempunyai anak”.

Bagian Bapak adalah:
Apabila sipewaris mempunyai anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki, maka bapak mendapat 1/6 dari harta peninggalan dan sisanya jatuh kepada anak laki-laki.
Apabila pewaris hanya meninggalkan bapak saja, maka bapak mengambil semua harta peninggalan dengan jalan ashabah.
Apabila pewaris meninggalkan ibu dan bapak, maka ibu mendapat 1/3 dan bapak mengambil 2/3 bagian.

Sedangkan bagian nenek adalah:
Apabila seorang pewaris meninggalkan seorang nenek saja, dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek mendapat bagian 1/6.
Apabila seorang pewaris meninggalkan nenek lebih dari seorang dan tidak meninggalkan ibu, maka nenek mendapat 1/6 dibagi rata diantara nenek tersebut.

Menurut hukum waris Islam, oarng yang tidak berhak mewaris adalah:
Pembunuh pewaris, berdasrkan hadtis yang diriwayatkan oleh At tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Daud dan An Nasa’i.
Orang murtad, yaitu keluar dari agama Islam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bardah.
Orang yang berbeda agama dengan pewaris, yaitu orang yang tidak menganut agama Islam atau kafir.
Anak zina, yaitu anak yang lahir karena hubungan diluar nikah, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi (Hazairin, 1964: 57).

Perlu diketahui bahwa jika pewaris meninggalkan ibu, maka semua nenek terhalang, baik nenek dari pihak ibu sendiri maupun nenek dari pihak ayah (mahjub hirman). Dan jika semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan adalah hanya anak (baik laki-laki maupun perempuan), ayah, ibu, dan janda atau duda sedangkan ahli waris yang lain terhalang (mahjub) (Pasal 174 Ayat (2) KHI).

II. Sistem Hukum kewarisan menurut KUH Perdata (BW).
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu:
Sebagai ahli waris menurut Undang-undang.
Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).

Cara yang pertama dinamakan mewarisi menurut Undang-undang atau “ab intestato” dan cara yang kedua dinamakan mewarisi secara “testamentair”.

Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang saja (Subekti, 1993: 95).

Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:
Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-anak, masing – masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya (pasal 852 BW).
Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka yang kemudian berhak mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang tua masing-masing sekurang-kurangnya mendapat seperempat dari warisan (pasal 854 BW).
Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi dua, separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak keluarga ayah dari yang meninggal dunia, keluarga yang paling dekat berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara-saudara dari pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).

Empat Golongan yang Berhak Menerima Warisan
A. GOLONGAN I.
Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Ayah Ibu Pewaris Saudara Saudara

B. GOLONGAN II
Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara pewaris. Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah, ibu, dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼ bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼ bagian

C. GOLONGAN III
kakek nenek kakek nenek Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah. Contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu. Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian untuk garis ibu.

D. GOLONGAN IV
Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.

Di dalam KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan yang tidak terurus yaitu jika seorang meninggal dunia lalu mempunyai harta, tetapi tidak ada ahli warisnya, maka harta warisan itu dianggap sebagai tidak terurus. Dalam hal yang demikian itu maka Balai Harta peninggalan (Wesskamer) dengan tidak usah menuggu perintah dari Pengadilan wajib mengurus harta itu namun harus memberitahukan kepada pihak Pengadilan. Dalam hal ada perselisihan apakah suatu harta warisan dapat dianggap sebagai tidak terurus atau tidak. Hal ini akan diputuskan oleh Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat catatan tentang keadaan harta tersebut dan jika dianggap perlu didahului dengan penyegelan barang-barang, dan selanjutnya membereskan segala sangkutan sipewaris berupa hutang-hutang dan lain-lain. Wesskamer harus membuat pertanggungjawaban, dan juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang mungkin ada dengan panggilan-panggilan umum, seperti melalui RRI, surat-surat kabar dan lain-lain cara yang dianggapa tepat. Jika setelah lewat tiga tahun belum juga ada seorang ahli waris yang tampil atau melaporkan diri, maka weeskamer akan melakukan pertanggungjawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu kepada negara, dan selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik negara.

Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris dan karenanya tidak berhak mewaris ialah:
Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh pewaris.
Mereka yang dengan putusan hakim Pengadilan dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris mengenai suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau hukuman yang lebih berat.
Mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat wasiatnya.
Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat pewaris.

III. Persamaan dan perbedaan antara sistem hukum Islam dengan sistem KUH Perdata (BW).
Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak.

Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, maka KUH Perdata menganut system keturunan Bilateral, dimana setiap orang itu menghubungkan dirinya dengan keturunan ayah mapun ibunya, artinya ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu jika ibu meninggal, berarti ini ada persamaan dengan hukum Islam.

Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut Islam dengan sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut system kewarisan individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris) harta warisan dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang menjadi haknya. Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH Perdata adalah sistem kewarisan individul bilateral (Subekti, 1953: 69), sedangkan perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris meninggal dunia, maka harta tersebut harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaran antara lain apakah harta tersebut sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang atau merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris, sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang diterima para ahli waris masing-masing, yang menurut ketentuan KUH Perdata semua bagian ahli waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak, atau saudara, atau ibu dan lain-lain, semua sama rata, sedangkan menurut hukum Islam dibedakan bagian antara ahli waris yang satu dengan yang ahli waris yang lain.

Persamaan tersebut disebabkan karena pola dan kebutuhan masyarakat yang universal itu adalah sama, sedangkan perbedaan-perbedaan itu disebabkan karena cara berfikir orang-orang barat adalah abstrak, analistis dan sistematis, dan pandangan hidup mereka adalah individulaistis dan materialistis, sedangkan hukum Islam dilatar belakangi oleh cara berfikir yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).

4 Alasan Mengapa Setiap Orang Harus Memiliki Asuransi Jiwa

Memiliki asuransi jiwa akan mengarah pada ketenangan pikiran seseorang. Terdapat banyak manfaat penting mengapa setiap orang harus memiliki polis asuransi jiwa. Proteksi dari asuransi jiwa dapat menjaga kualitas hidup anggota keluarga, jika karena hal tak terduga, ditinggal pergi selamanya oleh pemegang polis sebagai pencari nafkah utama.

Berikut adalah beberapa alasan utama mengapa anda perlu mempertimbangkan memiliki asuransi jiwa:
1. Biaya Pemakaman
Biaya pemakaman bisa sangat membebani anggota keluarga yang masih hidup. Pengeluaran untuk pemakaman, termasuk upacara dan selamatan di beberapa adat dan kepercayaan, bisa cukup mahal. Bayangkan saat anggota keluarga yang ditinggal harus membayar semua pengeluaran ini tanpa perlindungan dari asuransi jiwa.

2. Biaya Hidup Sehari-hari
Tuntutan biaya hidup harian untuk berbagai kebutuhan mungkin tidak begitu merepotkan ketika penanggung nafkah utama masih hidup. Setelah pencari nafkah utama meninggal, pemasukan mungkin tidak lagi sebesar dan selancar dulu, padahal berbagai tagihan masih perlu dibayar. Belum lagi, anggota keluarga yang ditinggalkan masih harus berpikir tentang kebutuhan masa depan yang harus dipenuhi, seperti biaya pendidikan anak yang besarnya selalu meningkat tiap tahunnya.

3. Membantu Dana Pensiun
Seorang pensiunan mungkin cukup beruntung menerima tunjangan bulanan bagi dirinya dan keluarganya. Hanya saja perlu diingat, besar uang pensiun akan berubah saat salah satu pasangan, terutama yang dulunya berperan sebagai pencari nafkah, meninggal dunia. Jumlah uang pensiun yang diterima mungkin tidak akan sebesar dulu lagi. Akibatnya, anggota keluarga yang ditinggalkan akan mengalami penurunan standar hidup, bahkan tidak mungkin harus berhadapan dengan berbagai masalah finansial. Itu sebab, orang yang dulunya bekerja dan akan mendapatkan uang pensiun setelah berhenti bekerja juga perlu mempertimbangkan untuk memiliki asuransi jiwa.

4. Mengurangi Beban
Untuk seluruh anggota keluarga, memiliki polis asuransi jiwa tidak diragukan lagi mampu menurunkan beban keuangan. Dengan besar manfaat (uang pertanggungan) yang memadai, Anda dapat memastikan rumah, mobil, kartu kredit dan semua tagihan lainnya bisa dilunasi tanpa kendala berarti. Bayangkan saat pasangan Anda tidak harus khawatir bagaimana cara membayar hutang mobil, rumah dan biaya lainnya.

Perbedaan Perseroan Terbatas (PT) dengan Persekutuan Komanditer (CV)

Bentuk Perusahaan Perseroan Terbatas (PT) dengan Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennootschap):

Perseroan Terbatas ( PT )
Bentuk Perusahaan Nomor 1 yang paling populer di Indonesia
Banyak digunakan untuk kegiatan usaha Kecil, Menengah atau Besar
PT adalah bentuk perusahaan yang berbadan hukum

Perseroan Komanditer ( CV )
Bentuk perusahaan Nomor 2 yang banyak digunakan olel UKM “usaha kecil dan menengah”
CV adalah badan usaha bukan badan hukum

Dasar Hukum Pendirian Perusahaan :
Perseroan Terbatas ( PT )
Pendirian PT harus sesuai dengan Undang-Undang PT Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Perseroan Komanditer ( CV )
Tidak ada Undang-Undang atau peraturan yang secara khusus mengatur tentang Pendirian Perseroan Komanditer atau CV

Pendiri Perseroan :
Perseroan Terbatas ( PT )
Jumlah pendiri perseroan minimal 2 (dua) orang
Para pendiri Perseroan adalah Warga Negara Indonesia
Warga negara asing dapat menjadi pendiri untuk Perseroan yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA)

Perseroan Komanditer ( CV )
Jumlah pendiri perseroan minimal 2 (dua) orang
Para pendiri Perseroan harus warga Negara Indonesia

Nama Perseroan :
Perseroan Terbatas (PT)
Pemakaian Nama PT diatur dalam pasal 16 Undang-Undang PT nomor 40 tahun 2007
Nama Perseroan harus didahulukan dengan frase “PERSEROAN TERBATAS” atau disingkat “PT”
Nama Perseroan tidak boleh sama atau mirip dengan nama “PT” yang sudah ada dan berdiri di wilayah Republik Indonesia seperti yang diatur oleh peraturan Pemerintah No.26 Tahun 1998

Perseroan Komanditer (CV)
Tidak ada Undang-undang atau peraturan yang secara khusus mengatur tentang Pemakaian Nama Perseroan Komanditer atau CV
Artinya : Kesamaan atau kemiripan nama Perseroan diperbolehkan

Modal Perusahaan :
Perseroan Terbatas (PT)
Berdasarkan Undang-undang No.40 Tahun 2007 modal dasar perseroan ditentukan sebagai berikut ;
Modal dasar minimal Rp.50.000.000 (lima puluh juta) kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang atau Peraturan yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan usaha tersebut di Indonesia
Dari modal tersebut minimal 25% atau sebesar Rp.12.500.000 harus sudah ditempatkan dan disetor oleh para pendiri Perseroan selaku Pemegang Saham Perseroan

Perseroan Komanditer (CV)
Di dalam Akta CV tidak disebutkan besarnya Modal Dasar, Modal titempatkan atau Modal disetor.
Artinya:
Tidak ada kepemilikan saham di dalam anggaran dasar cv
Besarnya penyetoran modal ditentukan dan dicatat sendiri secara terpisah oleh para pendiri

Bukti penyetoran modal oleh para pendiri yang terdiri dari Persero Aktif dan Persero Pasif dapat dibuat perjanjian sendiri yang disepakati oleh masing-masing pihak

Maksud dan Tujuan serta Kegiatan usaha:
Perseroan Terbatas (PT)
PT dapat melakukan semua kegiatan usaha sesuai dengan maksud dan tujuan sesuai jenis perseroan, seperti :
PT non Fasilitas meliputi kegiatan usaha : Perdagangan, Pembangunan ( Kontraktor), Perindustrian, Pertambangan, Pengangkutan Darat, Pertanian, Percetakan, Perbengkelan dan Jasa
PT Fasilitas PMA
PT Fasilitas PMDN
PT Persero BUMN
PT Perbankan
PT Lembaga keuangan non Perbankan
PT Usaha Khusus meliputi kegiatan usaha, antara lain : Forwarding, Perusahaan Pers, Perfilman dan Perekaman Video, Radio Siaran Swasta, Pariwisata, Perusahaan Bongkar Muat, Ekspedisi Muatan Kapal Laut, Ekspedisi Muatan Kapal Udara dan Pelayaran, dsb.

Perseroan Komanditer (CV)
CV hanya dapat melakukan kegiatan usaha yang terbatas pada bidang : Perdagangan, Pembangunan (Kontraktor) s/d Gred 4, Perindustrian, Perbengkelan, Pertanian, Percetakan dan Jasa.
CV memiliki keterbatasan dalam melaksanakan kegiatan usaha, karena beberapa bidang usaha ditetapkan dalam peraturan harus berbentuk Perseroan Terbatas.

Pengurus Perseroan :
Perseroan Terbatas (PT)
Pengurus Perseroan Terbatas minimal 2 (dua) orang yang terdiri dari seorang Direksi dan seorang Komisaris, kecuali untuk Perseroan Terbuka wajib memiliki paling sedikit 2 (dua) orang anggota Direksi.
Apabila Direksi dan Komisaris lebih dari satu orang maka salah satu bisa diangkat menjadi Direktur Utama dan Komisaris Utama.
Pengurus dapat juga sebagai Pemegang Saham Perseroan, kecuali ditentukan
Pengurus perseroan diangkat dan diberhentikan berdasarkan RUPS.

Perseroan Komanditer (CV)
Pengurus Perseroan Komanditer minimal 2 (dua) orang yang terdiri dari Persero Aktif dan Persero Pasif.
Persero Aktif adalah orang yang bertanggung jawab penuh melaksanakan kegiatan perusahaan, termasuk kerugian yang harus ditanggung oleh harta pribadinya.
Persero Pasif adalah orang yang bertanggung jawab sebatas pada besarnya modal yang diberikan kepada perusahaan.

Proses Pendirian Perusahaan:
Perseroan Terbatas (PT)
Relatif lebih lama dari CV
Pemakaian Nama PT harus mendapatkan persetujuan dari Menteri terlebih dahulu untuk bisa digunakan
Anggaran Dasar PT harus mendapatkan Pengesahan Menteri Hukum & Hak Asaso Manusia RI
Biaya yang dibutuhkan jauh lebuh besar

Perseroan Komanditer (CV)
Relatif lebih cepat dari PT
Nama boleh sama dan tidak perlu mendapatkan persetujuan
Tidak perlu mendapatkan pengesahan Menteri dan cukup didaftarkan ke Pengadilan Negeri setempat

Perbedaan Pembatalan dan Cerai Gugat/ Talak dalam Perkawinan

Pembatalan Perkawinan dapat dikategorikan dalam;

1. Perkawinan batal apabila:
a. suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu diantaranya itu dalam iddah talak raj’i.

b. seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li’annya

c. seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.

d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yaitu :
Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas
Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya
Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri
Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.

e. istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.

2. Perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama;

b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud;

c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;

d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974;

e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;

f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan jika perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

Apabila ancaman telah berhenti dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Sedangkan Alasan Perceraian
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

f. antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. suami melanggar taklik-talak.

h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Melihat pada uraian mengenai alasan pembatalan perkawinan dan perceraian di atas, jelas bahwa paksaan menikah dapat menjadi alasan untuk dilakukannya pembatalan perkawinan.