Monday, February 15, 2021

Keadaan Memaksa atau Force Majeur Dalam Perjanjian

Keadaan memaksa atau force majeur dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian/kontrak yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya. Sebagai contoh, seorang debitur meminjam sejumlah uang kepada kreditur berdasarkan perjanjian/kontrak yang telah dibuatnya. Namun ditengah jalan, debitur tiba-tiba mendapatkan suatu keadaan memaksa (force majure) yang membuat debitor tidak dapat melunasi hutangnya tersebut. Dengan dasar keadaan memaksa (force majure) debitur tidak dapat dipersalahkan.

Setidaknya terdapat beberapa pendapat terkait pengertian keadaan memaksa (force majure) tersebut yaitu sebagai berikut :
Subekti mengemukakan force majeur adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi;

Abdulkadir Muhammad mengemukakan force majeur adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi peristiwa yang tidak terduga yang mana debitur tidak dapat menduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.

Setiawan mengemukakan force majeur adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, yang mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Karena semua itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut.

Apabila dilihat dari aspek historisnya, Force majeure merupakan konsep hukum yang berasal dari hukum Roma (vis motor cui resisti non potest) yang diadopsi dalam berbagai macam sistem hukum. Dalam sistem common law, force majure ini dimaknai sebagai suatu ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu prestasi terhadap suatu kontrak, dengan di analogikan tetapi tidak identik dengan force majeure.

Dalam prakteknya, Force majeure merupakan salah satu klausa yang serting ada dalam suatu perjanjian/kontrak, dikatakan salah satu klausa karena kedudukan force majeure dalam suatu perjanjian berada di dalam perjanjian pokok, tidak terpisah sebagai perjanjian tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok selayaknya perjanjian accesoir. Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk. Adapun macam-macam keadaan memaksa, yaitu sebagai berikut:

Keadaan memaksa yang absolut (absolut onmogelijkheid) merupakan suatu keadaan dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar;
Kadaan memaksa yang relatif (relatieve onmogelijkheid) suatu keadaan yang menyebabkan debitur mungkin untuk melaksanakan prestasinya.

Apabila mengacu pada KUHPerdata, maka pengaturan terkait klausula force majure dalam perjanjian/kontrak tersebut diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata :

Pasal 1244 :
Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.

Pasal 1245 :
Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Pada dasarnya, klausa force majeure dalam suatu kontrak ditujukan untuk mencegah terjadinya kerugian salah satu pihak dalam suatu perjanjian karena act of God, seperti kebakaran, banjir gempa, hujan badai, angin topan, (atau bencana alam lainnya), pemadaman listrik, kerusakan katalisator, sabotase, perang, invasi, perang saudara, pemberontakan, revolusi, kudeta militer, terorisme, nasionalisasi, blokade, embargo, perselisihan perburuhan, mogok, dan sanksi terhadap suatu pemerintahan.

Unsur-unsur yang menyatakan bagaimana suatu keadaan dapat dinyatakan sebagai force majeure lazimnya memiliki kesamaan dalam setiap aturan hukum dan putusan pengadilan dalam setiap interpretasi terhadap kata ini. Unsur-unsur tersebut antara lain:
  • Peristiwa yang terjadi akibat suatu kejadian alam;
  • Peristiwa yang tidak dapat diperkirakan akan terjadi; dan
  • Peristiwa yang menunjukkan ketidakmampuan untuk melaksanakan kewajiban terhadap suatu kontrak baik secara keseluruhan maupun hanya untuk waktu tertentu.