Harta bersama atau gono gini adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan, maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha pasangan suami istri selama masa ikatan perkawinan. Pembagian harta bersama lewat Pengadilan Agama, bisa diajukan serempak dengan pengajuan gugatan perceraian (kumulatif) atau dapat pula digugat tersendiri setelah putus perceraian baik secara langsung oleh yang bersangkutan maupun memakai jasa pengacara.
Pemeriksaan pembagian harta bersama dalam hal yang kumulatif dilakukan setelah pemeriksaan gugatan cerai. Apabila gugatan cerainya ditolak, maka pembagian harta bersamanya juga ditolak. Karena pembagian harta bersama tersebut menginduk pada gugatan cerai. Kecuali kalau meminta pemisahan harta bersama, karena salah satu pihak dikuatirkan atau bahkan terbukti menghilangkan harta bersama dengan permohonan tersendiri melalui gugatan harta bersama.
Harta yang diperoleh dalam masa perkawinan adalah harta bersama, harta bawaan, hibah, warisan merupakan harta yang menjadi hak bagi yang mendapatkannya. Memperhatikan peraturan itu, tentunya perlu diikuti dengan pencatatan harta-harta yang sifatnya bukan harta bersama.
Perbedaan mengenai harta bawaan dan harta bersama. Pasal 86,87, dan 91 KHI tidak membedakan antara harta bawaan dan harta bersama. Sementara itu, Pasal 150 KUHPerdata membedakan harta bawaan dan harta bersama. Perbedaan mengenai pengertian harta bawaan dan harta bersama tersebut mempengaruhi pembagian harta bersama setelah pasangan suami istri bercerai.
Perbedaan pada pembagian harta bersama menurut KHI berdasarkan pada Pasal 97 harta bersama setelah perceraian dibagi rata, masing-masing ½ bagian antara suami dan isteri sama. Sementara itu, menurut KUHPerdata pembagian dapat dilakukan atas bukti-bukti yang diajukan oleh penggungat dan tergugat. Pengajuan bukti yang kuat memperoleh pembagian harta bersama lebih banyak, dalam kasus pengajuan bukti yang kuat dimiliki oleh penggugat sehingga penggugat memperoleh bagian ¾ bagian dan tergugat memperoleh ¼ bagian. Dengan demikian pembagian harta bersama menurut Pasal 128 KUHPerdata bahwa setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama dibagi dua antara suami dan isteri, tetapi dapat terjadi perubahan pembagian sesuai bukti-bukti secara hukum dalam proses peradilan.
Pengaturan tentang pengajuan permohonan pembagian harta bersama dan perceraian terdapat dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama yang tidak dirubah ketentuannya dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Dalam penyelesaian pelaksanaan pembagian harta bersama dalam perkawinan, praktisi hukum dapat berpedoman kepada KUHPer sebagai dasar hukum penyelesaian pembagian harta perkawinan. Walaupun dalam Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga memuat ketentuan yang mengatur harta benda dalam perkawinan, namun mengingat sampai saat ini belum ada peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang pembagian harta kekayaan dalam perkawinan, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang harta kekayaan perkawinan dalam KUHPerdata masih berlaku. Hal ini sesuai dengan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa apabila terjadi perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.