• Health

    Informasi Seputar Kesehatan

  • Parenting

    Informasi Seputar Keluarga

  • Relationship

    Informasi Seputar Hubungan Pacaran

  • Wedding

    Informasi Seputar Pernikahan dan Rumah Tangga

  • Sex

    Informasi Seputar Seks

  • Life

    Informasi Seputar Kehidupan

  • General

    Informasi Hal-hal Umum

  • Entrepreneur

    Informasi Seputar Wirausaha

Monday, February 15, 2021

Perbedaan Pembatalan dan Cerai Gugat/ Talak dalam Perkawinan

Pembatalan Perkawinan dapat dikategorikan dalam;

1. Perkawinan batal apabila:
a. suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu diantaranya itu dalam iddah talak raj’i.

b. seseorang menikahi bekas istrinya yang telah di li’annya

c. seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.

d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yaitu :
Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas
Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya
Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri
Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.

e. istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.

2. Perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama;

b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud;

c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain;

d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974;

e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;

f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan jika perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

Apabila ancaman telah berhenti dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Sedangkan Alasan Perceraian
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

f. antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g. suami melanggar taklik-talak.

h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Melihat pada uraian mengenai alasan pembatalan perkawinan dan perceraian di atas, jelas bahwa paksaan menikah dapat menjadi alasan untuk dilakukannya pembatalan perkawinan.

Cara Menentukan Ahli Waris Dalam Polis Asuransi

Seringkali kita sebagai agen asuransi mendapatkan pending SPAJ (Surat Permintaan Asuransi Kesehatan) berhubungan dengan ahli waris yang kita tuliskan dalam pengajuan SPAJ calon nasabah kita. Tapi, terkadang klien sendiri yang meminta nama tersebut sebagai ahli waris dalam polisnya. Jadi apa yang harus dilakukan? Untuk itu, mari kita pahami beberapa poin berikut ini untuk menjadi pembelajaran baik bagi agen asuransi maupun calon nasabah untuk menentukan ahli warisnya.

Jika dirasa ada yang janggal dalam pengajuan atau isian dalam SPAJ. Maka pihak Underwriting akan bertanya kepada kita sebagai agen, misalnya jika seseorang calon nasabah laki2 yang sudah menikah dan punya anak misalnya mengajukan permohonan Asuransi Jiwa, tapi di SPAJ dituliskan ahli warisnya adalah orang tua, atau kakak atau adiknya, tentunya ini akan menjadi suatu hambatan dalam disetujuinya SPAJ tersebut. Mengapa? Toh jika kita pikirkan bersama2 . Sah2 saja. Siapapun yg dituliskan di sana, (asalkan ada hubungan darah misalnya).

Sedikit informasi yang saya berikan mungkin bisa membantu rekan2 menentukan penulisan ahli waris supaya tidak terjadi data error pada pengajuan SPAJ.

Penentuan Hak Waris Menurut KUHPerdata
Dalam undang-undang sudah di atur dengan jelas bahwa penentuan hak waris diatur sebagai berikut.

1. Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (Pasal 830 KUHPerdata)

2. Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/isteri tersebut bukan merupakan ahli waris dari pewaris.

Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris ada empat golongan besar, yaitu:

1. Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata).

2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris.

3. Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris.

4. Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.

Jadi ada baiknya dalam menentukan Ahli Waris, diurut dulu sesuai golongannya, yang pertama dari golongan 1 dulu niscaya gak akan ada pending data.

Dan untuk calon nasabah, semoga bisa lebih bijak dalam menentukan hak waris dari uang pertanggungan polis yang dimiliki dengan baik dan tepat agar tidak terjadi kendala dikemudian hari.

Pembagian Harta Bersama atau Gono Gini

Harta bersama atau gono gini adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan, maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha pasangan suami istri selama masa ikatan perkawinan. Pembagian harta bersama lewat Pengadilan Agama, bisa diajukan serempak dengan pengajuan gugatan perceraian (kumulatif) atau dapat pula digugat tersendiri setelah putus perceraian baik secara langsung oleh yang bersangkutan maupun memakai jasa pengacara.

Pemeriksaan pembagian harta bersama dalam hal yang kumulatif dilakukan setelah pemeriksaan gugatan cerai. Apabila gugatan cerainya ditolak, maka pembagian harta bersamanya juga ditolak. Karena pembagian harta bersama tersebut menginduk pada gugatan cerai. Kecuali kalau meminta pemisahan harta bersama, karena salah satu pihak dikuatirkan atau bahkan terbukti menghilangkan harta bersama dengan permohonan tersendiri melalui gugatan harta bersama.

Harta yang diperoleh dalam masa perkawinan adalah harta bersama, harta bawaan, hibah, warisan merupakan harta yang menjadi hak bagi yang mendapatkannya. Memperhatikan peraturan itu, tentunya perlu diikuti dengan pencatatan harta-harta yang sifatnya bukan harta bersama.

Perbedaan mengenai harta bawaan dan harta bersama. Pasal 86,87, dan 91 KHI tidak membedakan antara harta bawaan dan harta bersama. Sementara itu, Pasal 150 KUHPerdata membedakan harta bawaan dan harta bersama. Perbedaan mengenai pengertian harta bawaan dan harta bersama tersebut mempengaruhi pembagian harta bersama setelah pasangan suami istri bercerai.

Perbedaan pada pembagian harta bersama menurut KHI berdasarkan pada Pasal 97 harta bersama setelah perceraian dibagi rata, masing-masing ½ bagian antara suami dan isteri sama. Sementara itu, menurut KUHPerdata pembagian dapat dilakukan atas bukti-bukti yang diajukan oleh penggungat dan tergugat. Pengajuan bukti yang kuat memperoleh pembagian harta bersama lebih banyak, dalam kasus pengajuan bukti yang kuat dimiliki oleh penggugat sehingga penggugat memperoleh bagian ¾ bagian dan tergugat memperoleh ¼ bagian. Dengan demikian pembagian harta bersama menurut Pasal 128 KUHPerdata bahwa setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama dibagi dua antara suami dan isteri, tetapi dapat terjadi perubahan pembagian sesuai bukti-bukti secara hukum dalam proses peradilan.

Pengaturan tentang pengajuan permohonan pembagian harta bersama dan perceraian terdapat dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama yang tidak dirubah ketentuannya dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Dalam penyelesaian pelaksanaan pembagian harta bersama dalam perkawinan, praktisi hukum dapat berpedoman kepada KUHPer sebagai dasar hukum penyelesaian pembagian harta perkawinan. Walaupun dalam Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga memuat ketentuan yang mengatur harta benda dalam perkawinan, namun mengingat sampai saat ini belum ada peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur tentang pembagian harta kekayaan dalam perkawinan, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang harta kekayaan perkawinan dalam KUHPerdata masih berlaku. Hal ini sesuai dengan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa apabila terjadi perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Keadaan Memaksa atau Force Majeur Dalam Perjanjian

Keadaan memaksa atau force majeur dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian/kontrak yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya. Sebagai contoh, seorang debitur meminjam sejumlah uang kepada kreditur berdasarkan perjanjian/kontrak yang telah dibuatnya. Namun ditengah jalan, debitur tiba-tiba mendapatkan suatu keadaan memaksa (force majure) yang membuat debitor tidak dapat melunasi hutangnya tersebut. Dengan dasar keadaan memaksa (force majure) debitur tidak dapat dipersalahkan.

Setidaknya terdapat beberapa pendapat terkait pengertian keadaan memaksa (force majure) tersebut yaitu sebagai berikut :
Subekti mengemukakan force majeur adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi;

Abdulkadir Muhammad mengemukakan force majeur adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi peristiwa yang tidak terduga yang mana debitur tidak dapat menduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.

Setiawan mengemukakan force majeur adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, yang mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Karena semua itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut.

Apabila dilihat dari aspek historisnya, Force majeure merupakan konsep hukum yang berasal dari hukum Roma (vis motor cui resisti non potest) yang diadopsi dalam berbagai macam sistem hukum. Dalam sistem common law, force majure ini dimaknai sebagai suatu ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu prestasi terhadap suatu kontrak, dengan di analogikan tetapi tidak identik dengan force majeure.

Dalam prakteknya, Force majeure merupakan salah satu klausa yang serting ada dalam suatu perjanjian/kontrak, dikatakan salah satu klausa karena kedudukan force majeure dalam suatu perjanjian berada di dalam perjanjian pokok, tidak terpisah sebagai perjanjian tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok selayaknya perjanjian accesoir. Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk. Adapun macam-macam keadaan memaksa, yaitu sebagai berikut:

Keadaan memaksa yang absolut (absolut onmogelijkheid) merupakan suatu keadaan dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar;
Kadaan memaksa yang relatif (relatieve onmogelijkheid) suatu keadaan yang menyebabkan debitur mungkin untuk melaksanakan prestasinya.

Apabila mengacu pada KUHPerdata, maka pengaturan terkait klausula force majure dalam perjanjian/kontrak tersebut diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata :

Pasal 1244 :
Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.

Pasal 1245 :
Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Pada dasarnya, klausa force majeure dalam suatu kontrak ditujukan untuk mencegah terjadinya kerugian salah satu pihak dalam suatu perjanjian karena act of God, seperti kebakaran, banjir gempa, hujan badai, angin topan, (atau bencana alam lainnya), pemadaman listrik, kerusakan katalisator, sabotase, perang, invasi, perang saudara, pemberontakan, revolusi, kudeta militer, terorisme, nasionalisasi, blokade, embargo, perselisihan perburuhan, mogok, dan sanksi terhadap suatu pemerintahan.

Unsur-unsur yang menyatakan bagaimana suatu keadaan dapat dinyatakan sebagai force majeure lazimnya memiliki kesamaan dalam setiap aturan hukum dan putusan pengadilan dalam setiap interpretasi terhadap kata ini. Unsur-unsur tersebut antara lain:
  • Peristiwa yang terjadi akibat suatu kejadian alam;
  • Peristiwa yang tidak dapat diperkirakan akan terjadi; dan
  • Peristiwa yang menunjukkan ketidakmampuan untuk melaksanakan kewajiban terhadap suatu kontrak baik secara keseluruhan maupun hanya untuk waktu tertentu.

Perbedaan Hukum Pidana dan Perdata

Hukum merupakan sistem peraturan yang didalamnya terdapat norma-norma dan sanksi-sanksi yang dibuat untuk mengendalikan perilaku manusia, menjaga ketertiban umum dan keadilan, serta mencegah terjadinya kekacauan. Keberadaan hukum bertujuan untuk melindungi setiap individu dari pelanggaran hak serta untuk menegakkan keadilan dan mencapai kemakmuran. Dengan adanya hukum di suatu negara, maka setiap orang dalam negara tersebut harus tunduk pada hukum yang berlaku di negara tersebut dan orang itu memiliki hak atas suatu hal berdasarkan hukum yang berlaku.

Secara luas, terdapat 2 (dua) sistem hukum yang dianut oleh negara-negara di dunia, yaitu sistem hukum civil law yang umumnya dianut oleh negara-negara di Eropa dan sistem hukum common law yang dianut oleh Inggris dan Amerika. Dalam sistem hukum common law, peranan hakim sangat besar sebagai penentu hukum karena hakim menciptakan suatu preseden yang akan digunakan sebagai acuan bagi kasus berikutnya. Sedangkan dalam sistem hukum civil law, undang-undang adalah sumber hukum yang utama. Sebagai negara bekas jajahan Belanda yang menggunakan sistem hukum civil law, Indonesia juga menganut sistem hukum ini. Ciri pokok dari sistem hukum civil law adalah adanya pembagian dasar antara hukum perdata dan hukum publik, serta adanya modifikasi hukum yaitu pembukuan hukum dalam suatu himpunan undang-undang dalam materi yang sama. Di bawah ini Libera akan menjabarkan secara detail mengenai perbedaan hukum pidana dan perdata.

Hukum Pidana
a. Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana menurut C.S.T. Kansil merupakan hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Sedangkan menurut Prof. Moeljatno, hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan mengatur ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan. Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan.

b. Hukum Pidana sebagai Bagian dari Hukum Publik
Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan masyarakat dan dijalankan untuk kepentingan masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut, hukum pidana memenuhi kategori hukum publik karena 2 (dua) hal, yang pertama karena yang menjalankan negara adalah aparat pemerintah atau negara, dan yang kedua karena negara memperoleh hak untuk menghukum dan menerapkan hukum.

c. Pembagian Hukum Pidana
Berdasarkan rumusan hukumnya, hukum pidana dibedakan menjadi dua jenis yaitu hukum pidana materiil (substantive criminal law) dan hukum pidana formal (hukum acara pidana). Di mana hukum pidana materiil merupakan serangkaian peraturan hukum yang menetapkan perbuatan yang dilarang, siapa yang dapat dijatuhi hukuman, dan hukuman apa yang dapat diberikan. Artinya, hukum pidana materiil berisi norma dan sanksi hukum pidana serta ketentuan umum yang membatasi, memperluas, atau menjelaskan norma dan pidana tertentu.

Sedangkan hukum pidana formal merupakan serangkaian ketentuan hukum yang mengatur tata pelaksanaan yang menjadi dasar atau pedoman bagi penegak hukum atas penerapan hukum pidana materill dalam implementasinya. Dengan kata lain, hukum pidana formal mengatur tentang bagaimana caranya negara melalui perantaranya (jaksa, polisi, hakim) dapat menjalankan kewajibannya untuk melakukan penyidikan, penuntutan, menjatuhkan dan melaksanakan pidana. Istilah lain dari hukum pidana formal adalah hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum acara pidana diatur dalam peraturan yang terpisah, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

d. Sumber-sumber Hukum Pidana
Sumber hukum pidana secara luas terbagi menjadi 2 (dua), yang pertama berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan yang kedua adalah di luar KUHP. KUHP merupakan lex generali atau aturan umum mengenai tindak pidana, sedangkan aturan di luar KUHP merupakan lex specialis karena mengatur lebih detail dan khusus. Misalnya, undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana korupsi atau undang-undang anti terorisme.

e. Tujuan Adanya Hukum Pidana
Pada dasarnya, hukum pidana yang telah diatur dalam KUHP dibuat untuk melindungi kepentingan umum yang memiliki implikasi secara langsung pada masyarakat secara luas (umum). Di mana, jika tindak pidana dilakukan akan berdampak buruk terhadap keamanan, ketentraman, kesejahteraan, dan ketertiban umum. Selain itu, hukum Pidana bersifat sebagai ultimum remedium (upaya terakhir) untuk menyelesaikan suatu perkara. Oleh karena itu akan terdapat sanksi yang memaksa jika terjadi pelanggaran.

Hukum Perdata
a. Pengertian Hukum Perdata
Prof. Subekti menyatakan bahwa hukum perdata dalam arti luas meliputi seluruh hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan seseorang. Sedangkan menurut C.S.T. Kansil, hukum perdata merupakan rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan antar orang yang satu dengan yang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum perdata adalah hukum yang mengatur perorangan, antara satu subjek hukum dengan subjek hukum lainnya dalam satu negara.

b. Hukum Perdata sebagai Bagian dari Hukum Privat
Hukum privat adalah hukum yang mengatur kepentingan antar individu antara lain adalah hukum perdata dan hukum dagang. Oleh karena itu, akibat dari ketentuan-ketentuan dalam hukum perdata tidak berakibat langsung terhadap kepentingan umum dan hanya berdampak langsung pada pihak-pihak yang terlibat.

c. Pembagian Hukum Perdata
Seperti halnya hukum pidana, hukum perdata juga terbagi menjadi dua yaitu hukum perdata materiil dan hukum perdata formal. Di mana .hukum perdata materiil merupakan hukum yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur kepentingan perseorangan seperti hukum perorangan (personenrecht), hukum keluarga (familierecht), hukum kekayaan atau hukum yang mengatur kebendaan (vermogensrecht), dan hukum waris (erfecht).

Sedangkan hukum perdata formal merupakan sekumpulan peraturan yang mengatur pelaksanaan sanksi bagi para pelaku yang melanggar hak-hak keperdataan sesuai yang dimaksud dalam hukum perdata materiil. Istilah hukum perdata materiil lebih dikenal dengan hukum acara perdata yang aturannya hingga sekarang masih didasarkan pada peraturan peninggalan jaman penjajahan Belanda yaitu H.I.R (Herzien Inlandsch Reglement), RBG (Rechtreglement voor de Buitengewesten) dan Rv (Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering). Namun meskipun ketiga aturan tersebut masih digunakan, hukum acara perdata juga dilengkapi dengan undang-undang lainnya seperti Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung.

d. Sumber-sumber Hukum Perdata
Menurut Vollmar, sumber hukum perdata dibagi menjadi 2 (dua) yaitu sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis atau kebiasaan. Sumber hukum yang termasuk ke dalam sumber hukum tertulis adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) serta undang-undang lainnya yang termasuk dalam ranah hukum perdata dan yurisprudensi. Sedangkan sumber hukum tertulis adalah hukum yang timbul karena kebiasaan dan tidak terdapat pengaturannya secara rinci dalam bentuk tertulis.

e. Tujuan Adanya Hukum Perdata
Jika hukum pidana bersifat ultimum remedium (upaya terakhir), hukum perdata bersifat privat, yaitu menitikberatkan mengenai hubungan perorangan dan kepentingan perseorangan. Sehingga tujuan adanya hukum perdata adalah mengatur hubungan antar perorangan, misalnya adanya undang-undang perkawinan yang mengatur tentang apa saja syarat perkawinan agar dianggap sah, hal-hal apa saja yang dapat membatalkan perkawinan, dan lainnya. Hal ini hanya berlaku bagi pihak yang melangsungkan pernikahan dan tidak memiliki dampak secara langsung bagi kepentingan umum.

Perkara Perdata Menjadi Pidana, Apakah Memungkinkan?
Dari beberapa penjelasan di atas sudah terlihat jelas perbedaan hukum pidana dan perdata. Namun ternyata pada prakteknya, banyak muncul perkara perdata berubah menjadi pidana. Padahal sudah jelas bahwa keduanya merupakan dua kategori hukum yang berbeda. Di mana, hukum pidana dikenakan kepada seseorang yang dianggap telah menganggu kepentingan umum oleh negara. Sedangkan hukum perdata, negara hanya bertindak sebagai pengawas.

Beberapa contoh perkara hukum perdata yang pada akhirnya berubah menjadi perkara pidana merupakan kasus sengketa tanah. Terlihat jelas bahwa sengketa ini terjadi karena adanya pertikaian antara dua pihak yang sedang memperebutkan lahan (hukum perdata), namun kejadian ini sering dibawa ke ranah hukum pidana. Hal ini mungkin terjadi jika terdapat unsur pidana yang muncul saat proses sengketa tanah, misalnya terdapat pemaksaan, penganiayaan, penggelapan, penipuan, dan sebagainya.

Kasus lainnya adalah ketika terdapat perkara yang melibatkan utang. Misalnya seorang tersangka tiba-tiba harus mendekam di penjara karena dirinya telah berutang kepada seseorang. Hal ini jelas murni kasus perdata, namun bisa saja masuk ke ranah hukum pidana karena adanya penggunaan pasal yang dianggap sebagai ‘pasal karet’, di mana tersangka dapat dianggap telah melakukan penggelapan dan penipuan kepada korban. Tuduhan inilah yang akan terus diajukan hingga utang tersebut dapat dilunasi oleh tersangka.