Suatu kegiatan usaha yang berdiri dengan status perusahaan dagang atau usaha dagang (toko) yang telah berkembang secara kualitas dan kuantitas usaha, apakah wajib untuk mengubah status usahanya? Bagaimana hubungan hukumnya dengan tenaga kerja yang dipekerjakan di tempat usahanya tersebut manakala hubungan antara pengusaha dan pekerja tidak dilandasi dengan perjanjian? Wajib atau tidakkah perusahaan/usaha dagang tersebut untuk membentuk peraturan perusahaan, serta hak-hak pekerja, sebagaimana menurut UU Ketenagakerjaan?
Jawaban:
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran yang kedua kali dari artikel dengan judul sama yang dibuat pertama kali oleh Bimo Prasetio, Pamela Permatasari, Fetroki Rhomanda, dan Dwinanda Febriany dan dipublikasikan pada Selasa, 20 Maret 2012, kemudian dimutakhirkan oleh Abi Jam'an Kurnia, S.H. pada Jumat, 22 Februari 2019.
Perusahaan Dagang atau sering juga disebut sebagai Usaha Dagang (“PD/UD”) adalah suatu badan usaha yang dijalankan secara mandiri oleh satu orang saja dan tidak memerlukan suatu partner dalam berusaha. Di mata hukum, PD/UD sama dengan pemiliknya yang artinya, tidak ada pemisahan kekayaan ataupun pemisahan tanggung jawab antara PD/UD dan pemiliknya.
Wajibkah Mengubah Jenis Badan Usaha?
Apabila yang dimaksud dengan status usaha yaitu jenis badan usaha, maka untuk mengubah suatu jenis badan usaha bergantung pada visi misi dan tujuan dari badan usaha itu.
Dalam hal ini, apabila PD/UD saat ini berjalan sesuai dengan kegiatan usahanya, maka PD/UD tersebut tidak perlu untuk "diubah" menjadi badan usaha lainnya.
Namun, apabila dalam perkembangannya PD/UD memiliki visi misi dan tujuan untuk memperluas kegiatan PD/UD dan/atau diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan, maka jenis PD/UD tersebut dapat "diubah" dengan membentuk badan usaha baru.
Adapun berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu, suatu badan usaha diwajibkan berbentuk badan hukum, seperti rumah sakit yang didirikan pihak swasta yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan, kecuali rumah sakit publik yang diselenggarakan oleh badan hukum yang bersifat nirlaba.
Selain itu, jika ada penyertaan modal asing dalam badan usaha tersebut, maka badan usaha tersebut wajib untuk berbentuk badan hukum yaitu Perseroan Terbatas.
Sehingga apabila dalam perkembangannya PD/UD akan melakukan kegiatan usaha sebagaimana disebutkan sebelumnya dan/atau terdapat penyertaan modal asing dalam badan usahanya, maka PD/UD tersebut wajib untuk berbentuk badan hukum.
Untuk mengetahui badan usaha yang tepat untuk PD/UD, berikut kami uraikan karakteristik badan usaha baik yang merupakan badan hukum atau bukan badan hukum.
Badan Usaha Berbentuk Badan Hukum
Karakteristik suatu badan hukum yaitu adanya pemisahan kekayaan pemilik dengan kekayaan badan usaha, sehingga pemilik hanya bertanggung jawab sebatas harta yang dimilikinya. Badan usaha yang berbentuk badan hukum terdiri dari:
Perseroan Terbatas (“PT”)
Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas (hal. 33-36), menjelaskan suatu PT harus memenuhi syarat:
merupakan persekutuan modal;
didirikan berdasar perjanjian;
melakukan kegiatan usaha;
lahirnya perseroan melalui proses hukum dalam bentuk pengesahan pemerintah.
Karena PT adalah persekutuan modal, maka pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.
Terkait modal dasar, besarannya ditentukan berdasarkan keputusan para pendiri PT. Modal dasar PT harus ditempatkan dan disetor penuh paling sedikit 25% yang dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.
Yayasan merupakan badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.
Yayasan bisa melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut dalam suatu badan usaha.
Koperasi
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasar atas asas kekeluargaan.
Sifat keanggotaan koperasi yaitu sukarela bahwa tidak ada paksaan untuk menjadi anggota koperasi dan terbuka bahwa tidak ada pengecualian untuk menjadi anggota koperasi.
Badan Usaha Bukan Berbentuk Badan Hukum
Kemudian karakteristik badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum yaitu tidak ada pemisahan antara kekayaan badan usaha dengan kekayaan pemiliknya. Badan usaha bukan berbentuk badan hukum terdiri dari:
Persekutuan Perdata
Persekutuan perdata (maatschap) adalah perjanjian di mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya.
Karena persekutuan perdata merupakan badan usaha bukan berbentuk badan hukum, maka para sekutu bertanggung jawab secara pribadi sesuai kesepakatan mereka sendiri atau sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Firma
Firma merupakan suatu perseroan yang didirikan untuk melakukan suatu usaha di bawah satu nama bersama. Para anggota memiliki tanggung jawab renteng terhadap firma.
Persekutuan Komanditer (“CV”)
CV terdiri dari pesero aktif dan pesero pasif/komanditer. Pesero aktif bertanggung jawab sampai dengan harta pribadi, sedangkan pesero pasif hanya bertanggung jawab sebesar modal yang telah disetorkan ke dalam CV.
Irma Devita menerangkan apabila PD/UD akan "diubah" dengan badan usaha lainnya, maka pendiri PD/UD tersebut dapat membuat Akta Pembubaran yang menyatakan bahwa terhitung sejak tanggal tertentu, PD/UD tersebut menyatakan diri bubar. Dengan akta ini, pendiri bisa mengajukan pencabutan atas izin yang telah/pernah dia peroleh (hal. 7).
Namun, apabila pendirian usaha tersebut tidak disertai Akta Notaris, tapi memiliki kewajiban memiliki izin usaha lengkap, yang bersangkutan dapat membuat pernyataan berhenti dari usaha tersebut kemudian melaporkan ke setiap instansi penerbit perizinan yang dimaksud agar secara administratif dan publik, PD/UD itu sudah dinyatakan berakhir sehingga kewajibannya selaku subjek pajak juga berakhir (hal. 7).
Selanjutnya, pengusaha dapat mendirikan badan usaha yang sesuai dengan karakteristik dan visi misi yang diinginkan.
Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan, sehingga suatu perjanjian kerja tidak harus dibuat secara tertulis. Namun khusus perjanjian kerja waktu tertentu, wajib dibuat secara tertulis.
Agar perjanjian yang dibuat pengusaha dengan pekerja sah secara hukum, perjanjian itu haruslah memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai Pasal 1320 KUHPer jo. Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yaitu:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
- Kemampuan atau kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
- Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila syarat-syarat diatas telah terpenuhi, maka perjanjian kerja sah meski tidak dibuat secara tertulis. Implikasinya, telah terjadi hubungan kerja antara kedua pihak.
Jadi, pengusaha yang membuat perjanjian secara lisan dengan pekerja sudah merupakan perjanjian yang memiliki akibat hukum.
Sehingga, perjanjian baik secara tertulis maupun lisan antara pengusaha dengan pekerja tetap memiliki hubungan hukum di antara mereka selama perjanjian itu sah secara hukum dengan mengikuti syarat-syarat sahnya perjanjian.
Kewajiban Membentuk Peraturan Perusahaan
Setiap pengusaha yang mempekerjakan pekerja sekurang-kurangnya 10 orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau pejabat yang ditunjuk.
Yang dimaksud dengan pengusaha menurut Pasal 1 angka 5 huruf a UU Ketenagakerjaan:
Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
Dari kedua pasal tersebut, bisa disimpulkan perusahaan (termasuk PD/UD) harus memiliki peraturan perusahaan jika mempekerjakan pekerja sejumlah 10 orang atau lebih.
Hak-hak Pekerja
Adapun hak-hak pekerja adalah sebagai berikut:
- Memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja;
- Memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja;
- Memperoleh waktu istirahat dan cuti dengan ketentuan:
- istirahat antara jam kerja paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
- istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu
- cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja bekerja selama 12 bulan secara terus menerus
- perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
- Memperoleh perlindungan atas:
- keselamatan dan kesehatan kerja;
- moral dan kesusilaan; dan
- perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
- Memperoleh upah yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;
- Memperoleh jaminan sosial tenaga kerja;
- Membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh;
- Melakukan mogok kerja sebagai akibat gagalnya perundingan;
- Menerima pembayaran uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima jika terjadi pemutusan hubungan kerja;
- Hak khusus untuk pekerja/buruh perempuan:
- Memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan;
- Memperoleh istirahat selama 1,5 bulan jika mengalami keguguran kandungan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan;
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Referensi:
Irma Devita Purnamasari. Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mendirikan Badan Usaha. Bandung: Penerbit Kaifa, 2010;
Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika, 2016;
Prof. Dr. Agus Sardjono, et.al. Pengantar Hukum Dagang, cet.3. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016.
Putusan:
[1] Irma Devita Purnamasari. Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mendirikan Badan Usaha. Bandung: Penerbit Kaifa, 2010, hal. 3
[2] Pasal 7 ayat (4) jo. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU-XI/2013.
[3] Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
[4] Pasal 3 ayat (1) dan penjelasannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”)
[5] Pasal 109 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 32 ayat (2) UUPT
[6] Pasal 33 ayat (1) dan (2) UUPT
[7] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU Yayasan”)
[8] Pasal 3 ayat (1) UU Yayasan
[9] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (“UU Koperasi”)
[10] Pasal 5 ayat (1) huruf a dan penjelasannya UU Koperasi
[11] Pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPer")
[12] Prof. Dr. Agus Sardjono, et.al, Pengantar Hukum Dagang, cet.3, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016, hal. 26-27
[13] Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”)
[14] Pasal 18 KUHD
[15] Pasal 19 KUHD
[16] Prof. Dr. Agus Sardjono, et.al. Pengantar Hukum Dagang, cet.3. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016, hal.67
[17] Pasal 20 KUHD
[18] Pasal 51 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)
[19] Pasal 51 UU Ketenagakerjaan dan penjelasannya
[20] Pasal 50 UU Ketenagakerjaan
[21] Pasal 108 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[22] Pasal 11 UU Ketenagakerjaan
[23] Pasal 18 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[24] Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 UU Ketenagakerjaan
[25] Pasal 86 ayat (1) UU UU Ketenagakerjaan
[26] Pasal 81 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 88 UU Ketenagakerjaan
[27] Pasal 99 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[28] Pasal 104 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[29] Pasal 137 UU Ketenagakerjaan
[30] Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[31] Pasal 82 UU Ketenagakerjaan