• Health

    Informasi Seputar Kesehatan

  • Parenting

    Informasi Seputar Keluarga

  • Relationship

    Informasi Seputar Hubungan Pacaran

  • Wedding

    Informasi Seputar Pernikahan dan Rumah Tangga

  • Sex

    Informasi Seputar Seks

  • Life

    Informasi Seputar Kehidupan

  • General

    Informasi Hal-hal Umum

  • Entrepreneur

    Informasi Seputar Wirausaha

Monday, February 15, 2021

Keadaan Memaksa atau Force Majeur Dalam Perjanjian

Keadaan memaksa atau force majeur dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian/kontrak yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya. Sebagai contoh, seorang debitur meminjam sejumlah uang kepada kreditur berdasarkan perjanjian/kontrak yang telah dibuatnya. Namun ditengah jalan, debitur tiba-tiba mendapatkan suatu keadaan memaksa (force majure) yang membuat debitor tidak dapat melunasi hutangnya tersebut. Dengan dasar keadaan memaksa (force majure) debitur tidak dapat dipersalahkan.

Setidaknya terdapat beberapa pendapat terkait pengertian keadaan memaksa (force majure) tersebut yaitu sebagai berikut :
Subekti mengemukakan force majeur adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi;

Abdulkadir Muhammad mengemukakan force majeur adalah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi peristiwa yang tidak terduga yang mana debitur tidak dapat menduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan.

Setiawan mengemukakan force majeur adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, yang mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Karena semua itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut.

Apabila dilihat dari aspek historisnya, Force majeure merupakan konsep hukum yang berasal dari hukum Roma (vis motor cui resisti non potest) yang diadopsi dalam berbagai macam sistem hukum. Dalam sistem common law, force majure ini dimaknai sebagai suatu ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu prestasi terhadap suatu kontrak, dengan di analogikan tetapi tidak identik dengan force majeure.

Dalam prakteknya, Force majeure merupakan salah satu klausa yang serting ada dalam suatu perjanjian/kontrak, dikatakan salah satu klausa karena kedudukan force majeure dalam suatu perjanjian berada di dalam perjanjian pokok, tidak terpisah sebagai perjanjian tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok selayaknya perjanjian accesoir. Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk. Adapun macam-macam keadaan memaksa, yaitu sebagai berikut:

Keadaan memaksa yang absolut (absolut onmogelijkheid) merupakan suatu keadaan dimana debitur sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar;
Kadaan memaksa yang relatif (relatieve onmogelijkheid) suatu keadaan yang menyebabkan debitur mungkin untuk melaksanakan prestasinya.

Apabila mengacu pada KUHPerdata, maka pengaturan terkait klausula force majure dalam perjanjian/kontrak tersebut diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata :

Pasal 1244 :
Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.

Pasal 1245 :
Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Pada dasarnya, klausa force majeure dalam suatu kontrak ditujukan untuk mencegah terjadinya kerugian salah satu pihak dalam suatu perjanjian karena act of God, seperti kebakaran, banjir gempa, hujan badai, angin topan, (atau bencana alam lainnya), pemadaman listrik, kerusakan katalisator, sabotase, perang, invasi, perang saudara, pemberontakan, revolusi, kudeta militer, terorisme, nasionalisasi, blokade, embargo, perselisihan perburuhan, mogok, dan sanksi terhadap suatu pemerintahan.

Unsur-unsur yang menyatakan bagaimana suatu keadaan dapat dinyatakan sebagai force majeure lazimnya memiliki kesamaan dalam setiap aturan hukum dan putusan pengadilan dalam setiap interpretasi terhadap kata ini. Unsur-unsur tersebut antara lain:
  • Peristiwa yang terjadi akibat suatu kejadian alam;
  • Peristiwa yang tidak dapat diperkirakan akan terjadi; dan
  • Peristiwa yang menunjukkan ketidakmampuan untuk melaksanakan kewajiban terhadap suatu kontrak baik secara keseluruhan maupun hanya untuk waktu tertentu.

Perbedaan Hukum Pidana dan Perdata

Hukum merupakan sistem peraturan yang didalamnya terdapat norma-norma dan sanksi-sanksi yang dibuat untuk mengendalikan perilaku manusia, menjaga ketertiban umum dan keadilan, serta mencegah terjadinya kekacauan. Keberadaan hukum bertujuan untuk melindungi setiap individu dari pelanggaran hak serta untuk menegakkan keadilan dan mencapai kemakmuran. Dengan adanya hukum di suatu negara, maka setiap orang dalam negara tersebut harus tunduk pada hukum yang berlaku di negara tersebut dan orang itu memiliki hak atas suatu hal berdasarkan hukum yang berlaku.

Secara luas, terdapat 2 (dua) sistem hukum yang dianut oleh negara-negara di dunia, yaitu sistem hukum civil law yang umumnya dianut oleh negara-negara di Eropa dan sistem hukum common law yang dianut oleh Inggris dan Amerika. Dalam sistem hukum common law, peranan hakim sangat besar sebagai penentu hukum karena hakim menciptakan suatu preseden yang akan digunakan sebagai acuan bagi kasus berikutnya. Sedangkan dalam sistem hukum civil law, undang-undang adalah sumber hukum yang utama. Sebagai negara bekas jajahan Belanda yang menggunakan sistem hukum civil law, Indonesia juga menganut sistem hukum ini. Ciri pokok dari sistem hukum civil law adalah adanya pembagian dasar antara hukum perdata dan hukum publik, serta adanya modifikasi hukum yaitu pembukuan hukum dalam suatu himpunan undang-undang dalam materi yang sama. Di bawah ini Libera akan menjabarkan secara detail mengenai perbedaan hukum pidana dan perdata.

Hukum Pidana
a. Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana menurut C.S.T. Kansil merupakan hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. Sedangkan menurut Prof. Moeljatno, hukum pidana merupakan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan mengatur ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melakukan. Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan.

b. Hukum Pidana sebagai Bagian dari Hukum Publik
Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara dengan masyarakat dan dijalankan untuk kepentingan masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut, hukum pidana memenuhi kategori hukum publik karena 2 (dua) hal, yang pertama karena yang menjalankan negara adalah aparat pemerintah atau negara, dan yang kedua karena negara memperoleh hak untuk menghukum dan menerapkan hukum.

c. Pembagian Hukum Pidana
Berdasarkan rumusan hukumnya, hukum pidana dibedakan menjadi dua jenis yaitu hukum pidana materiil (substantive criminal law) dan hukum pidana formal (hukum acara pidana). Di mana hukum pidana materiil merupakan serangkaian peraturan hukum yang menetapkan perbuatan yang dilarang, siapa yang dapat dijatuhi hukuman, dan hukuman apa yang dapat diberikan. Artinya, hukum pidana materiil berisi norma dan sanksi hukum pidana serta ketentuan umum yang membatasi, memperluas, atau menjelaskan norma dan pidana tertentu.

Sedangkan hukum pidana formal merupakan serangkaian ketentuan hukum yang mengatur tata pelaksanaan yang menjadi dasar atau pedoman bagi penegak hukum atas penerapan hukum pidana materill dalam implementasinya. Dengan kata lain, hukum pidana formal mengatur tentang bagaimana caranya negara melalui perantaranya (jaksa, polisi, hakim) dapat menjalankan kewajibannya untuk melakukan penyidikan, penuntutan, menjatuhkan dan melaksanakan pidana. Istilah lain dari hukum pidana formal adalah hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum acara pidana diatur dalam peraturan yang terpisah, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

d. Sumber-sumber Hukum Pidana
Sumber hukum pidana secara luas terbagi menjadi 2 (dua), yang pertama berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan yang kedua adalah di luar KUHP. KUHP merupakan lex generali atau aturan umum mengenai tindak pidana, sedangkan aturan di luar KUHP merupakan lex specialis karena mengatur lebih detail dan khusus. Misalnya, undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana korupsi atau undang-undang anti terorisme.

e. Tujuan Adanya Hukum Pidana
Pada dasarnya, hukum pidana yang telah diatur dalam KUHP dibuat untuk melindungi kepentingan umum yang memiliki implikasi secara langsung pada masyarakat secara luas (umum). Di mana, jika tindak pidana dilakukan akan berdampak buruk terhadap keamanan, ketentraman, kesejahteraan, dan ketertiban umum. Selain itu, hukum Pidana bersifat sebagai ultimum remedium (upaya terakhir) untuk menyelesaikan suatu perkara. Oleh karena itu akan terdapat sanksi yang memaksa jika terjadi pelanggaran.

Hukum Perdata
a. Pengertian Hukum Perdata
Prof. Subekti menyatakan bahwa hukum perdata dalam arti luas meliputi seluruh hukum privat materiil, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan seseorang. Sedangkan menurut C.S.T. Kansil, hukum perdata merupakan rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan antar orang yang satu dengan yang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum perdata adalah hukum yang mengatur perorangan, antara satu subjek hukum dengan subjek hukum lainnya dalam satu negara.

b. Hukum Perdata sebagai Bagian dari Hukum Privat
Hukum privat adalah hukum yang mengatur kepentingan antar individu antara lain adalah hukum perdata dan hukum dagang. Oleh karena itu, akibat dari ketentuan-ketentuan dalam hukum perdata tidak berakibat langsung terhadap kepentingan umum dan hanya berdampak langsung pada pihak-pihak yang terlibat.

c. Pembagian Hukum Perdata
Seperti halnya hukum pidana, hukum perdata juga terbagi menjadi dua yaitu hukum perdata materiil dan hukum perdata formal. Di mana .hukum perdata materiil merupakan hukum yang berisi ketentuan-ketentuan yang mengatur kepentingan perseorangan seperti hukum perorangan (personenrecht), hukum keluarga (familierecht), hukum kekayaan atau hukum yang mengatur kebendaan (vermogensrecht), dan hukum waris (erfecht).

Sedangkan hukum perdata formal merupakan sekumpulan peraturan yang mengatur pelaksanaan sanksi bagi para pelaku yang melanggar hak-hak keperdataan sesuai yang dimaksud dalam hukum perdata materiil. Istilah hukum perdata materiil lebih dikenal dengan hukum acara perdata yang aturannya hingga sekarang masih didasarkan pada peraturan peninggalan jaman penjajahan Belanda yaitu H.I.R (Herzien Inlandsch Reglement), RBG (Rechtreglement voor de Buitengewesten) dan Rv (Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering). Namun meskipun ketiga aturan tersebut masih digunakan, hukum acara perdata juga dilengkapi dengan undang-undang lainnya seperti Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung.

d. Sumber-sumber Hukum Perdata
Menurut Vollmar, sumber hukum perdata dibagi menjadi 2 (dua) yaitu sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis atau kebiasaan. Sumber hukum yang termasuk ke dalam sumber hukum tertulis adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) serta undang-undang lainnya yang termasuk dalam ranah hukum perdata dan yurisprudensi. Sedangkan sumber hukum tertulis adalah hukum yang timbul karena kebiasaan dan tidak terdapat pengaturannya secara rinci dalam bentuk tertulis.

e. Tujuan Adanya Hukum Perdata
Jika hukum pidana bersifat ultimum remedium (upaya terakhir), hukum perdata bersifat privat, yaitu menitikberatkan mengenai hubungan perorangan dan kepentingan perseorangan. Sehingga tujuan adanya hukum perdata adalah mengatur hubungan antar perorangan, misalnya adanya undang-undang perkawinan yang mengatur tentang apa saja syarat perkawinan agar dianggap sah, hal-hal apa saja yang dapat membatalkan perkawinan, dan lainnya. Hal ini hanya berlaku bagi pihak yang melangsungkan pernikahan dan tidak memiliki dampak secara langsung bagi kepentingan umum.

Perkara Perdata Menjadi Pidana, Apakah Memungkinkan?
Dari beberapa penjelasan di atas sudah terlihat jelas perbedaan hukum pidana dan perdata. Namun ternyata pada prakteknya, banyak muncul perkara perdata berubah menjadi pidana. Padahal sudah jelas bahwa keduanya merupakan dua kategori hukum yang berbeda. Di mana, hukum pidana dikenakan kepada seseorang yang dianggap telah menganggu kepentingan umum oleh negara. Sedangkan hukum perdata, negara hanya bertindak sebagai pengawas.

Beberapa contoh perkara hukum perdata yang pada akhirnya berubah menjadi perkara pidana merupakan kasus sengketa tanah. Terlihat jelas bahwa sengketa ini terjadi karena adanya pertikaian antara dua pihak yang sedang memperebutkan lahan (hukum perdata), namun kejadian ini sering dibawa ke ranah hukum pidana. Hal ini mungkin terjadi jika terdapat unsur pidana yang muncul saat proses sengketa tanah, misalnya terdapat pemaksaan, penganiayaan, penggelapan, penipuan, dan sebagainya.

Kasus lainnya adalah ketika terdapat perkara yang melibatkan utang. Misalnya seorang tersangka tiba-tiba harus mendekam di penjara karena dirinya telah berutang kepada seseorang. Hal ini jelas murni kasus perdata, namun bisa saja masuk ke ranah hukum pidana karena adanya penggunaan pasal yang dianggap sebagai ‘pasal karet’, di mana tersangka dapat dianggap telah melakukan penggelapan dan penipuan kepada korban. Tuduhan inilah yang akan terus diajukan hingga utang tersebut dapat dilunasi oleh tersangka.

4 Golongan Ahli Waris Menurut KUH Perdata

Pertanyaan:
Kakak saya meninggal (bukan agama Islam), meninggalkan deposito bank dan rumah atas nama almarhum. Tidak ada surat wasiat dan tidak mempunyai anak. Kepada siapakah hak ahli waris tersebut? Apakah seutuhnya kepada istri/kepada saudara kandung almarhum?

Jawaban:
Dalam penerapan hukum waris, apabila seorang pewaris yang beragama selain Islam meninggal dunia, maka yang digunakan adalah sistem pewarisan berdasarkan Hukum Waris sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”).

Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah:
1. Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian. (Pasal 830 KUHPerdata);

2. Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris. (Pasal 832 KUHPerdata), dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya, kalau mereka sudah bercerai pada saat pewaris meninggal dunia, maka suami/isteri tersebut bukan merupakan ahli waris dari pewaris.

Berdasarkan prinsip tersebut, maka yang berhak mewaris hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris. Baik itu berupa keturunan langsung maupun orang tua, saudara, nenek/kakek atau keturunannya dari saudara-saudaranya. Sehingga, apabila dimasukkan dalam kategori, maka yang berhak mewaris ada empat golongan besar, yaitu:

1. Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata).

2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris

3. Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris

4. Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.

Mengapa ahli waris dibagi ke dalam 4 golongan ini?
Golongan ahli waris ini menunjukkan siapa ahli waris yang lebih didahulukan berdasarkan urutannya. Artinya, ahli waris golongan II tidak bisa mewarisi harta peninggalan pewaris dalam hal ahli waris golongan I masih ada.

Dalam kasus Anda, saya mengambil kesimpulan bahwa walaupun kakak Anda tidak memiliki anak, namun masih memiliki seorang isteri. Dengan demikian, sebagai ahli waris Golongan I, maka isteri kakak Anda tersebut berhak sepenuhnya atas harta peninggalan dari mendiang kakak Anda.

Catatan: Jawaban pertanyaan tersebut ada pula penjelasannya di buku Kiat Cerdas Mudah dan Bijak Dalam Memahami HUKUM WARIS – karya: Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. (Kaifa, Desember 2012).

Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23).


Pertanyaan:
Apa bedanya ahli waris berdasarkan hubungan darah dan ahli waris berdasarkan wasiat? Mohon penjelasannya.

Jawaban:
Pewarisan secara hukum adalah peralihan kepemilikan atas harta benda orang yang telah meninggal pada ahli warisnya.
Ahli waris adalah orang yang berhak menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.
Dalam hukum ada ahli waris berdasar hubungan darah dan perkawinan serta ahli waris karena wasiat.

Ahli waris berdasar hubungan darah dan perkawinan meliputi anak atau keturunannya dan ahli waris berdasar hubungan perkawinan adalah istri atau suami pewaris.

Ahli waris berdasar wasiat adalah ahli waris yang ditunjuk oleh pewaris dalam surat wasiat.
Keturunan anak hanya akan tampil mewaris menggantikan kedudukan orang tuanya yang telah meninggal dengan besar bagian warisan sesuai besar bagian anak.

Pembagian warisan pada ahli waris berdasar hubungan dan perkawinan ini otomatis terjadi manakala pewaris tidak meninggalkan surat wasiat.
Pada prinsipnya pewaris bebas memberikan hak miliknya pada ahli waris,jika itu dimuat dalam surat wasiat.

Jika tidak maka pembagian pada ahli waris anak dan istri/suami adalah sama besar.
Seandainya ada 3 anak dan 1 orang istri maka bagiannya adalah 1/3. Anak baik laki-laki maupun perempuan punya hak sama.

Jika suami telah meninggal sebelum warisan orang tuanya dibagi dan dia punya 2 anak maka anaknya tampil mewaris menggantikan ayahnya dengan besar bagian tetap 1/3 dibagi 2 anaknya.

Terhadap harta warisan yang telah beralih kepemilikan, ahli waris berhak melakukan apapun terhadap harta tersebut sesuai kesepakatan para pihak.

E. Imma Indra Dewi, S.H., M.Hum.
Staf Pengajar FH UAJY.

Macam Hukum yang Berlaku di Indonesia, Pahami dan Patuhi

Dalam Undang-undang Dasar 1945, pasal 1 ayat 3 berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Bunyi dalam Undang-undang tersebut mempertegas bahwa negara Indonesia ini merupakan negara hukum, sehingga masyarakat yang ada di dalamnya wajib mematuhinya.

Hukum merupakan sebuah aturan berupa sanksi dan norma yang berlaku dan dibuat untuk mengatur macam-macam hak dan kewajiban warga negaranya agar tidak berbenturan. Tujuan adanya hukum ini untuk membatasi perilaku masyarakat dan juga mewujudkan keadilan di dalam masyarakat.

Setiap masyarakat berhak untuk memperoleh pembelaan di depan hukum. Itu berarti bahwa semua masyarakat, terlepas dari apapun latar belakang atau kedudukannya, memiliki posisi yang sama di hadapan hukum.

Di Indonesia sendiri, terdapat macam-macam hukum yang perlu diketahui oleh masyarakat. Berikut ini, kami akan menjelaskan macam-macam hukum yang berlaku di Indonesia tersebut:

Hukum Perdata Indonesia
Macam-macam hukum yang pertama adalah hukum perdata Indonesia. Hukum perdata juga disebut sebagai hukum privat. Karena hukum ini bersifat privat atau pribadi, hukum ini akan mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan pribadi warga negara.

Contoh hukum perdata di Indonesia di antaranya mengatur kematian dan kelahiran seseorang, perkawinan dan perceraian, harta benda, warisan hingga badan usaha.

Dalam mengatur hukum perdata, diterbitkanlah sebuah kitab yang bernama KUHPer (Kitab Undang-undang Hukum Perdata). Di dalamnya, ada 4 bab yang di antaranya adalah:
  • Bab I menjelaskan tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga.
  • Bab II menjelaskan tentang hak dan kewajiban yang berkaitan dengan benda.
  • Bab III menjelaskan tentang perjanjian.
  • Bab IV menjelaskan tentang batas waktu dan pembuktian.
Hukum Pidana Indonesia
Macam-macam hukum yang kedua adalah hukum pidana Indonesia. Hukum pidana merupakan kebalikan dari perdata. Salah satu perbedaan hukum pidana dan perdata adalah hukum pidana bersifat publik.

Hukum ini berkaitan dengan aturan negara, kepentingan umum, kegiatan pemerintahan dan juga mengurusi tindak pidana. Ada 5 macam hukuman pokok pidana dan 3 hukuman tambahan pidana di antaranya:
  • Hukuman mati
  • Hukuman penjara
  • Hukuman kurungan
  • Hukuman denda
  • Hukuman tutupan
  • Pencabutan hak
  • Penyitaan barang
  • Pengumuman putusan hakim
Hukum Tata Negara
Macam-macam hukum yang ketiga adalah hukum tata negara. Hukum tata negara berkaitan dengan aturan atau prosedur yang mengurus hubungan antar lembaga negara.

Terdapat 5 asas dalam hukum tata negara yaitu:
  • Asas Pancasila
  • Asas negara hukum
  • Asas negara kesatuan
  • Asas kedaulatan rakyat
  • Asas pembagian kekuasaan
Hukum Acara Pidana Indonesia
Macam-macam hukum yang keempat yaitu hukum acara pidana Indoensia. Hukum acara pidana adalah suatu prosedur yang mengatur dan melaksanakan hukum pidana di Indonesia.

Jika terdapat sebuah kasus yang melibatkan tindak pidana hingga penjatuhan hukum pidana, maka akan diatur dalam hukum acara pidana.

Di dalam hukum ini, memuat tata cara pelaksanaan dan bagaimana cara dijatuhkannya hukum pidana oleh badan pemerintah yang berwenang.

Hukum Acara Perdata Indonesia
Macam-macam hukum yang kelima adalah hukum acara perdata Indonesia. Mirip dengan hukum acara pidana Indonesia, hukum acara perdata adalah sebuah prosedur yang mengatur dan mengurusi pelaksanaan untuk hukum perdata di Indonesia.

Di dalam hukum ini terkandung asas di antaranya:
  • Penyelenggaraan pengadilan harus mandiri dan tidak memihak siapapun.
  • Hakim berperan aktif di dalam persidangan dari awal hingga akhir.
  • Pengadilan dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan murah.
  • Sidang pengadilan perdata harus terbuka untuk umum.
  • Adanya perwakilan kuasa hukum jika dibutuhkan.
  • Kedua belah pihak yang berada di pengadilan harus didengar dengan adil oleh hakim.
Hukum Islam Indonesia
Macam-macam hukum yang ke enam adalah hukum Islam Indonesia. Hukum Islam ini hanya berlaku bagi para pemeluk agama Islam. Hukum ini akan mengatur tingkah laku manusia yang berdasar syariat Wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasul.

Hukum ini berlaku di Indonesia karena mayoritas warga Indonesia memeluk agama Islam. Terdapat 4 landasan dalam hukum Islam di antaranya:
  • Al-quran (kitab suci agama Islam)
  • Hadist (segala sesuatu yang didasari dari Rasulullah S.A.W)
  • Ijma’ (kesepakatan para ulama)
  • Qiyas (membandingkan sesuatu yang sama dengan sesuatu yang ingin diketahui hukumnya)
Hukum Adat Indonesia
Macam-macam hukum yang ketujuh yaitu hukum adat Indonesia. Hukum adat merupakan aturan tidak tertulis yang sudah ada sejak zaman dahulu dan disetujui oleh masyarakat dalam suatu daerah.
Hukum ini bersifat elastis dan berkembang mengikuti zaman.

Kemunculan hukum adat dipengaruhi oleh unsur-unsur hukum adat seperti agama, kerajaan, hingga masuknya bangsa asing di Indonesia. Umumnya, ada satu pemuka adat yang bertugas untuk memimpin dan menegakkan keadilan dalam hukum adat ini.
Sistem yang ada di dalam hukum adat di antaranya:
  • Hukum adat tata negara. Hukum yang mengatur susunan rakyat dan pemerintahan dari mulai organisasi, lingkungan kerja hingga jabatan-jabatannya.
  • Hukum adat warga. Hukum yang mengatur hak dan kewajiban warga suatu daerah seperti hukum ahli waris, hukum tanah, hukum perkawinan, hukum hutang piutang, dll.
  • Hukum adat pidana. Hukum yang mengatur berbagai tindak pidana hingga reaksi masyarakat terhadap tindakan tersebut.
Hukum Antar Tata Hukum
Macam-macam hukum yang selanjutnya adalah hukum antar tata hukum, atau bisa disingkat sebagai HATAH. Hukum ini mengatur antar golongan-golongan yang berada di bawah naungan hukum yang berbeda. Hukum antar tata hukum juga mempelajari tentang sistem hukum di suatu negara pada waktu tertentu.

Hukum Tata Usaha Administrasi Negara
Macam-macam hukum yang terakhir adalah hukum tata usaha administrasi negara. Hukum ini juga sering disebut sebagai hukum administrasi negara. Hukum ini merupakan hukum publik yang berada di bawah hukum tata negara. Hukum tata usaha administrasi negara sendiri merupakan prosedur yang mengatur kegiatan lembaga pemerintahan di Indonesia sehari-hari.

Jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya

Pertanyaan:
Suatu kegiatan usaha yang berdiri dengan status perusahaan dagang atau usaha dagang (toko) yang telah berkembang secara kualitas dan kuantitas usaha, apakah wajib untuk mengubah status usahanya? Bagaimana hubungan hukumnya dengan tenaga kerja yang dipekerjakan di tempat usahanya tersebut manakala hubungan antara pengusaha dan pekerja tidak dilandasi dengan perjanjian? Wajib atau tidakkah perusahaan/usaha dagang tersebut untuk membentuk peraturan perusahaan, serta hak-hak pekerja, sebagaimana menurut UU Ketenagakerjaan?

Jawaban:
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran yang kedua kali dari artikel dengan judul sama yang dibuat pertama kali oleh Bimo Prasetio, Pamela Permatasari, Fetroki Rhomanda, dan Dwinanda Febriany dan dipublikasikan pada Selasa, 20 Maret 2012, kemudian dimutakhirkan oleh Abi Jam'an Kurnia, S.H. pada Jumat, 22 Februari 2019.

Perusahaan Dagang atau sering juga disebut sebagai Usaha Dagang (“PD/UD”) adalah suatu badan usaha yang dijalankan secara mandiri oleh satu orang saja dan tidak memerlukan suatu partner dalam berusaha. Di mata hukum, PD/UD sama dengan pemiliknya yang artinya, tidak ada pemisahan kekayaan ataupun pemisahan tanggung jawab antara PD/UD dan pemiliknya.

Wajibkah Mengubah Jenis Badan Usaha?
Apabila yang dimaksud dengan status usaha yaitu jenis badan usaha, maka untuk mengubah suatu jenis badan usaha bergantung pada visi misi dan tujuan dari badan usaha itu.

Dalam hal ini, apabila PD/UD saat ini berjalan sesuai dengan kegiatan usahanya, maka PD/UD tersebut tidak perlu untuk "diubah" menjadi badan usaha lainnya.

Namun, apabila dalam perkembangannya PD/UD memiliki visi misi dan tujuan untuk memperluas kegiatan PD/UD dan/atau diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan, maka jenis PD/UD tersebut dapat "diubah" dengan membentuk badan usaha baru.

Adapun berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu, suatu badan usaha diwajibkan berbentuk badan hukum, seperti rumah sakit yang didirikan pihak swasta yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan, kecuali rumah sakit publik yang diselenggarakan oleh badan hukum yang bersifat nirlaba.

Selain itu, jika ada penyertaan modal asing dalam badan usaha tersebut, maka badan usaha tersebut wajib untuk berbentuk badan hukum yaitu Perseroan Terbatas.

Sehingga apabila dalam perkembangannya PD/UD akan melakukan kegiatan usaha sebagaimana disebutkan sebelumnya dan/atau terdapat penyertaan modal asing dalam badan usahanya, maka PD/UD tersebut wajib untuk berbentuk badan hukum.

Untuk mengetahui badan usaha yang tepat untuk PD/UD, berikut kami uraikan karakteristik badan usaha baik yang merupakan badan hukum atau bukan badan hukum.

Badan Usaha Berbentuk Badan Hukum
Karakteristik suatu badan hukum yaitu adanya pemisahan kekayaan pemilik dengan kekayaan badan usaha, sehingga pemilik hanya bertanggung jawab sebatas harta yang dimilikinya. Badan usaha yang berbentuk badan hukum terdiri dari:

Perseroan Terbatas (“PT”)
Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas (hal. 33-36), menjelaskan suatu PT harus memenuhi syarat:
merupakan persekutuan modal;
didirikan berdasar perjanjian;
melakukan kegiatan usaha;
lahirnya perseroan melalui proses hukum dalam bentuk pengesahan pemerintah.

Karena PT adalah persekutuan modal, maka pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.

Terkait modal dasar, besarannya ditentukan berdasarkan keputusan para pendiri PT. Modal dasar PT harus ditempatkan dan disetor penuh paling sedikit 25% yang dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.

Yayasan merupakan badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.

Yayasan bisa melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut dalam suatu badan usaha.
Koperasi

Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasar atas asas kekeluargaan.

Sifat keanggotaan koperasi yaitu sukarela bahwa tidak ada paksaan untuk menjadi anggota koperasi dan terbuka bahwa tidak ada pengecualian untuk menjadi anggota koperasi.

Badan Usaha Bukan Berbentuk Badan Hukum
Kemudian karakteristik badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum yaitu tidak ada pemisahan antara kekayaan badan usaha dengan kekayaan pemiliknya. Badan usaha bukan berbentuk badan hukum terdiri dari:

Persekutuan Perdata
Persekutuan perdata (maatschap) adalah perjanjian di mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya.

Karena persekutuan perdata merupakan badan usaha bukan berbentuk badan hukum, maka para sekutu bertanggung jawab secara pribadi sesuai kesepakatan mereka sendiri atau sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Firma
Firma merupakan suatu perseroan yang didirikan untuk melakukan suatu usaha di bawah satu nama bersama. Para anggota memiliki tanggung jawab renteng terhadap firma.

Persekutuan Komanditer (“CV”)
CV terdiri dari pesero aktif dan pesero pasif/komanditer. Pesero aktif bertanggung jawab sampai dengan harta pribadi, sedangkan pesero pasif hanya bertanggung jawab sebesar modal yang telah disetorkan ke dalam CV.

Irma Devita menerangkan apabila PD/UD akan "diubah" dengan badan usaha lainnya, maka pendiri PD/UD tersebut dapat membuat Akta Pembubaran yang menyatakan bahwa terhitung sejak tanggal tertentu, PD/UD tersebut menyatakan diri bubar. Dengan akta ini, pendiri bisa mengajukan pencabutan atas izin yang telah/pernah dia peroleh (hal. 7).

Namun, apabila pendirian usaha tersebut tidak disertai Akta Notaris, tapi memiliki kewajiban memiliki izin usaha lengkap, yang bersangkutan dapat membuat pernyataan berhenti dari usaha tersebut kemudian melaporkan ke setiap instansi penerbit perizinan yang dimaksud agar secara administratif dan publik, PD/UD itu sudah dinyatakan berakhir sehingga kewajibannya selaku subjek pajak juga berakhir (hal. 7).

Selanjutnya, pengusaha dapat mendirikan badan usaha yang sesuai dengan karakteristik dan visi misi yang diinginkan.

Perjanjian Kerja
Perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan, sehingga suatu perjanjian kerja tidak harus dibuat secara tertulis. Namun khusus perjanjian kerja waktu tertentu, wajib dibuat secara tertulis.

Agar perjanjian yang dibuat pengusaha dengan pekerja sah secara hukum, perjanjian itu haruslah memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai Pasal 1320 KUHPer jo. Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yaitu:
  • Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  • Kemampuan atau kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  • Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
  • Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila syarat-syarat diatas telah terpenuhi, maka perjanjian kerja sah meski tidak dibuat secara tertulis. Implikasinya, telah terjadi hubungan kerja antara kedua pihak.

Jadi, pengusaha yang membuat perjanjian secara lisan dengan pekerja sudah merupakan perjanjian yang memiliki akibat hukum.

Sehingga, perjanjian baik secara tertulis maupun lisan antara pengusaha dengan pekerja tetap memiliki hubungan hukum di antara mereka selama perjanjian itu sah secara hukum dengan mengikuti syarat-syarat sahnya perjanjian.

Kewajiban Membentuk Peraturan Perusahaan
Setiap pengusaha yang mempekerjakan pekerja sekurang-kurangnya 10 orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau pejabat yang ditunjuk.

Yang dimaksud dengan pengusaha menurut Pasal 1 angka 5 huruf a UU Ketenagakerjaan:
Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.

Dari kedua pasal tersebut, bisa disimpulkan perusahaan (termasuk PD/UD) harus memiliki peraturan perusahaan jika mempekerjakan pekerja sejumlah 10 orang atau lebih.

Hak-hak Pekerja
Adapun hak-hak pekerja adalah sebagai berikut:
  • Memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja;
  • Memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja;
  • Memperoleh waktu istirahat dan cuti dengan ketentuan:
  • istirahat antara jam kerja paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
  • istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu
  • cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja bekerja selama 12 bulan secara terus menerus
  • perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
  • Memperoleh perlindungan atas:
  • keselamatan dan kesehatan kerja;
  • moral dan kesusilaan; dan
  • perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
  • Memperoleh upah yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;
  • Memperoleh jaminan sosial tenaga kerja;
  • Membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh;
  • Melakukan mogok kerja sebagai akibat gagalnya perundingan;
  • Menerima pembayaran uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima jika terjadi pemutusan hubungan kerja;
  • Hak khusus untuk pekerja/buruh perempuan:
  • Memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan;
  • Memperoleh istirahat selama 1,5 bulan jika mengalami keguguran kandungan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan;
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Referensi:
Irma Devita Purnamasari. Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mendirikan Badan Usaha. Bandung: Penerbit Kaifa, 2010;
Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika, 2016;
Prof. Dr. Agus Sardjono, et.al. Pengantar Hukum Dagang, cet.3. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016.

Putusan:
[1] Irma Devita Purnamasari. Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mendirikan Badan Usaha. Bandung: Penerbit Kaifa, 2010, hal. 3



[4] Pasal 3 ayat (1) dan penjelasannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”)

[5] Pasal 109 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 32 ayat (2) UUPT

[6] Pasal 33 ayat (1) dan (2) UUPT

[7] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU Yayasan”)

[8] Pasal 3 ayat (1) UU Yayasan


[10] Pasal 5 ayat (1) huruf a dan penjelasannya UU Koperasi



[12] Prof. Dr. Agus Sardjono, et.al, Pengantar Hukum Dagang, cet.3, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016, hal. 26-27


[14] Pasal 18 KUHD

[15] Pasal 19 KUHD

[16] Prof. Dr. Agus Sardjono, et.al. Pengantar Hukum Dagang, cet.3. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016, hal.67

[17] Pasal 20 KUHD


[19] Pasal 51 UU Ketenagakerjaan dan penjelasannya

[20] Pasal 50 UU Ketenagakerjaan

[21] Pasal 108 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

[22] Pasal 11 UU Ketenagakerjaan

[23] Pasal 18 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

[24] Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 UU Ketenagakerjaan

[25] Pasal 86 ayat (1) UU UU Ketenagakerjaan

[26] Pasal 81 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 88 UU Ketenagakerjaan

[27] Pasal 99 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

[28] Pasal 104 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

[29] Pasal 137 UU Ketenagakerjaan

[30] Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

[31] Pasal 82 UU Ketenagakerjaan